Dari Seni Rupa Sanggar Sampai Seni Rupa
‘Klangenan’; Jejak-jejak Para Pelukis ‘Swa Pengalaman’ (Autodidak)
“Kami tak bermaksud menjual lukisan.
Atau berpamrih hidup dari melukis. Obsesi kami cuma ingin melukis, dan hidup
untuk melukis. Kami hanya ingin eksistensi kami yang kebetulan bergerak di
bidang seni lukis, diakui dan diapresiasi masyarakat. Lebih khusus masyarakat
lingkungan kamu di Batu,”
(Vita Suparno, Kompas 26 Juli 1992,
Pameran Lukisan Bersebelas: Belajar dari Batu, hal.10)
Berangkat dari pengertian antara fine
art dan visual art, yang diungkapkan oleh kritisi Sanento Yuliman
(1941-1992) dalam membaca kesimpangsiuran gagasan seni rupa di Indonesia pada
era 1970-80 an, sekiranya sejarah seni
rupa bisa dibaca sebagai sejarah gagasan terhadap tanggapan-tanggapan arus
modernisme (kemutakhiran) yang hadir di Indonesia. Tanpa perlu melanjutkan
keniscayaan dikotomi, apalagi dahaga (oposisi) berhierarki yang nisbi, terhadap
pengertian fine art dan visual art, sesungguh nya seni yang turun
menurun (visual art) adalah tanggapan-tanggapan terhadap kehadiran seni
modern (fine art), yang sekaligus juga adalah usaha merumuskan
modernisme Indonesia. Ungkapan-ungkapan
S.Sudjojono sebenarnya adalah tanggapan-tanggapan terhadap arus modernisme yang
diusung oleh kolonial Belanda. Alih-alih gagasan modernisme S.Sudjojono yang
tidak ingin diimla oleh kolonial Belanda, seperti halnya yang ditamsilkan oleh
Taman Siswa sebagai tanggapan terhadap sistem pendidikan kolonial Belanda,
adalah usaha merumuskan modernisme nya sendiri sebagai cita-cita kemerdekaan
dan nasionalisme bangsa Indonesia. Pameran Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar
Indonesia) di Kunstkring Jakarta (1938)
yang itanggapi oleh J.Hopman beberapa tahun kemudian (1947), dengan
maklumat bahwa seni lukis Indonesia belum ada, dan untuk sementara waktu ia
juga tidak akan ada, semata-mata adalah dalih kaum kolonial untuk mengkuhkan
dirinya sebagai pemegang kendali gagasan-gagasan modernisme yang berlangsung di
Indonesia.
Modernisme oleh S.Sudjojono adalah
tanggapan terhadap para pelukis mooi Indie (Hindia yang jelita), yang
jauh dari kemaujudan masyarakat Indonesia masa itu. Para pelukis mooi Indie adalah
para pelukis akademis yang mengandalkan kekuatan teknis, karena berangkat dari
kebutuhan jawatan-jawatan kolonial akan citra fotografis landscape (kantong-kantong)
bagi keperluan dokumentasi ekonomi perkebunan, yang sekaligus juga adalah pemiuhan (distorsi) terhadap kondisi
desa-desa di Jawa sebagai basis pergolakan ekonomi perkebunan kolonial yang
dicitrakan sebagai maujud yang indah dan damai. Kecendrungan lukisan mooi
Indie pada maujud yang indah dan damai inilah yang kemudian menjadi dialek
‘melayani para turis’ sebagai ideologi kelanjutannya di masa S.Sudjojono.
Perdebatan S.Sudjojono dan J.Hopman
sesungguhnya bisa ditafsirkan sebagai visual art dan fine art,
atau jika gagasan yang ditawarkan oleh Sanento Yuliman tentang makna seni rupa
ini anggap terlalu muluk-muluk, mungkin bisa diganti pada yang mungkin lebih
maujud, yakni seni lukis sanggar sebagai visual art dan seni lukis
akademis sebagai fine art. Setidaknya perdebatan S.Sudjojono dengan
J.Hopman berangkat dari situasi kolonial, beserta sisa-sisa nya yang masih
hinggap di era 1947 an. Seni lukis sanggar yang secara tegas hadir pada masa
Persagi di tahun 1938 karena tanggapannya terhadap lukisan kolonial (mooi
Indie), atau bahkan masa sebelumnya pada kelahiran Taman Siswa (1922)
adalah semangat perkumpulan untuk mencapai cita-cita Indonesia Merdeka.
Pergulatan S.Sudjojono dengan para pelukis mooi Indie macam Abdullah Suryo
Subroto adalah perpanjangan dari tanggapan seni lukis sanggar terhadap para
pelukis akademis.
Pergulatan Tentang Tafsir Modernisme
Indonesia; Kelanjutan Seni Lukis Sanggar dan Seni Lukis Akademis
Pada masa setelah kemerdekaan (1945)
semangat seni lukis sanggar malah tumbuh subur sebagai wadah yang hadir dalam
mewarnai jati diri (identitas) kebudayaan nasional. Pada lazim nya, paska
kemerdekaan hampir semua pelukis di Indonesia memiliki organisasi atau
sanggarnya masing-masing. Namun masih menyisakan pergulatan di masa sebelum
kemerdekaan yang bergeser dalam menentukan jati diri kebudayaan nasional.
Perdebatan seni lukis sanggar dan seni lukis akademis sebenarnya masih berlanjut
yang, satu diantaranya diterjemahkan pada pada tahun 1954, oleh Trisno Sumardjo
yang menganggap pameran lukisan mahasiswa Akademi Seni Rupa Bandung, sebagai
‘Bandung Mengabdi Laboratorium Barat’.
Pada dasarnya seni lukis sanggar bukan
mengandaikan tidak adanya kaidah akademis dalam cita-cita berkaryanya. Seni
lukis sanggar dalam ‘kedisanaannya’ adalah semangat modernisme yang berpijak
pada perihal-perihal warisan kebudayaan turun menurun (tradisional) bangsa
Indonesia. Dua tamsil yang bisa diambil dalam mengimba seni lukis sanggar dan
seni lukis akademis adalah Rusli dan Basoeki Abullah. Rusli memiliki pengalaman
akademis selama 6 tahun di Universitas Kala Bhavana Santiniketan India, dan
selama 10 tahun ia mengajar seni lukis di Taman Siswa Yogyakarta. Sedangkan
Basoeki Abdullah pada tahun 1933 memperoleh beasiswa untuk belajar di Akademik
Seni Rupa (Academie Voor Beeldende Kunsten) di Den Haag Belanda. Penanda
antara seni lukis sanggar dan seni lukis akademis pada dasarnya adalah tentang
perbedaan tafsir modernisme, yang secara politik diantara keduanya memiliki
cara pandang berbeda dalam menanggapi kolonialisme di Indonesia.
Pijakan modernidme bagi S.Sudjojono
sendiri adalah seni rupa yang tidak mengandaikan kemampuan teknis, alih-alihnya
adalah ‘jiwa yang nampak’, sedangkan moral berkesenian S.Sudjojono adalah
‘mencipta’ itu sendiri. ‘Kedisanaan’ S.Sudjojono adalah tanggapan terhadap
paham modernisme kolonial Belanda yang masih bernuansakan romantik (abad 19),
yang memposisikan masyarakat Timur sebagai ‘wujud’ (entitas) yang di
‘pedalaman’ (tradisional) kan. Padahal S.Sudjojono sudah mengkritik paham
modernisme Eropa lainnya, yakni ketika melihat Picasso menengok ke Afrika, dan
van Gogh yang mengengok ke Jepang. Jika kita melirik gagasan seni modernisme
Eropa abad ke 20, mereka memang berbondong-bondong melirik insiprasi dari
wilayah jajahan (pedalaman). Pelukis Delacroix berhutang pada Maroko, Paul
Gaugin dan pembuat film W.F.Murnau ke Tahiti, Henri Matisse ke Persia, teater
Timur nya Antonin Artaut dengan Bali, dan lain sebagainya.
Memang, kolonialisme Belanda adalah
praktik yang puritan. Dengan mengandalkan kelanggengan kekuasaan basis
kekuasaan setempat, yang berasal dari konsepsi Mataram tentang hubungan
raja-kawula (tuan tanah), sehingga tidak heran program pendidikan kolonial
Belanda bagi kaum pribumi hanya bisa diakses kalangan menengah atas masyarakat
Indonesia masa itu. Sehingga tidak mengeherankan pula jika agenda pendidikan
kolonial Belanda adalah untuk membentuk pangreh praja (Binnenland Bestur), bagi kebutuhan jawatan-jawatan
kolonial sebagai bagian dari program modern ekonomi kolonial di awal abad 20.
Tidak heran jika lukisan mooi Indie, kental akan kemampuan teknis
melukis, khususnya kemampuan teknis membuat anatomi beserta detail-detail objek
yang digambarnya, karena nya pelukis mooi Indie memang berasal dari
semangat para pelukis jawatan yang sudah di mulai semenjak Raden Saleh.
Modernisme seni lukis akademis mungkin
bisa terlacak dari program ‘emansipasi’ dan ‘asosiasi’ yang diajukan oleh
Snouck Hurgronje kepada kaum pribumi Hindia Belanda di awal abad ke 20. Sebagai
bagian dari kebijakan etis dari pihak kolonial, program emansipasi adalah
sebuah siasat ketertiban dan keamanan (rust end orde) sosial masyarakat
di Hindia Belanda yang mengarahkan kesadaran kaum pribumi agar terputus dari
akar tradisinya, sedangkan program asosiasi adalah bertujuan untuk membentuk
rasa kedekatan kesadaran kaum pribumi dengan kultur dan peradaban pencerahan
barat. Dari praktik program asosiasi dari kebijakan etis kolonial inilah yang
kemudian melahirkan para pelukis-pelukis mooi indie, yang berasal dari
semangat ‘romantik’ Eropa.
Kelahiran akan seni di Indonesia
yakni, Akademi Seni Rupa Indonesia
(ASRI) pada 12 Januari 1950 di Yogyakarta, dan di Bandung berdiri Balai
Perguruan Tinggi Guru Gambar, pada masa itu tidak mengurangi semangat
keberadaan sanggar lukis di Indonesia, setidaknya kehadiran sanggar lukis masih
tetap kuat sampai tahun 1965 an.
Kehadiran ASRI tidak bisa dipungkiri membawa arah perubahan seni rupa di
Indonesia. Satu diantara perubahan tersebut adalah semangat seni rupa murni (fine
art) dan seni rupa terapan yang mulai muncul ketika di mulainya keberadaan
akademi seni di Indonesia. Nampaknya semangat para pelukis jawatan di masa kolonial
Belanda akan kembali terulang bersamaan dengan kelahiran akademi tersebut.
Beberapa kelahiran sanggar pada masa
setelah kelahiran ASRI memiliki entitas yang berbeda, seperti sanggar Pelukis
Indonesia Muda (PIM) pada tahun 1953, dan sanggar Bambu pada tahun 1959,
Sanggar Bumi Tarung pada tahun 1961,
yang kesemuanya berasal dari para siswa ASRI Yogyakarta. Sehingga
keberadaan sanggar di era akademi seni, membawa ‘kultur’ yang berbeda pada masa
sebelumnya. Bahkan beberapa diantara keberadaan sanggar seni lukis memiliki
kedekatan politik dengan partai tertentu, sehingga tidak heran dampak
keberadaan sanggar yang mulai redup paska tahun 1965, karena situasi transisi
kekuasaan politik nasional. Hal ini sedikit dipertegas oleh keterangan Kusnadi
yang menyatakan bahwa kelahiran akademi seni juga di dorong oleh suasana
hubungan antar sanggar yang tidak selalu nampak harmonis dan cukup terbuka.
Seni Lukis Sanggar dan Pondok Seni Batu
Frasa seni lukis sanggar sendiri bisa
diandaikan sebagai cara bimbingan melukis dengan semangat kebersamaan. Menurut
Kusnadi tentang sanggar lukis paska kemerdekaan menyatakan bahwa ‘bimbingan
melukis dalam sanggar biasanya dituntun oleh masing-masing ketua perkumpulan,
baik dalam arti estetis maupun dalam pengarahan cita-cita sanggar. Pembimbingan
ini dibantu dalam pelaksanaannya beberapa anggota perkumpulan, yang telah
dianggap matang menurut ketua sanggar, yang diserahi memeriksa hasil latihan
bersama dengan model yang disediakan. Frase ini setidaknya masih berlaku sampai
dengan hari ini yang diungkapkan oleh para pelukis Pondok Seni Batu (Anwar,
Tupai, Watoni). Jauh sebelumnya, pada tanggal 26 Juli 1992, sebuah harian
nasional menyatat bahwa Pondok Seni Batu yang berpameran bersama di Taman
Budaya Jawa Tengah, Solo sebagai satu ‘keluarga’. Peran-peran pelukis Batu yang memiliki akses
terhadap basis pengetahuan (baik akademis maupun otodidak), macam Koeboe
Sarawan, Cak Badri, Isa Ansyori, Slamet Hen Kus dan lain sebagainya, dalam ruang
komunal Pondok Seni memberikan kontribusi yang cukup produktif dalam mendorong
para pelukis yang muda macam Anwar, Tupai, Klemin, Heri Pur, Lukman Hakim.
Adalah Dr.C.van Heycopten Ham, adalah
seorang dokter yang juga cukup memberikan dorongan berkarya bagi para
pelukis-pelukis di kota Batu. Menurut salah seorang pelopor Pondo Seni Batu,
mas Koeboe Sarawan menyatakan, keberadaan van Heycopten cukup penting bagi para
pelukis Batu, selain memberikan motivasi, juga membuka jejaringan para pelukis
batu untuk bisa belajar lebih jauh tentang seni rupa masa itu, yakni magang
pada salah seorang pelukis ternama (satu diantaranya But Muchtar). Keberadaan Dr.C.van Heycopten Ham, seakan
mengingatkan kita akan tamsil seorang Belgia A.J.
Payen bagi seorang Raden Saleh, berkat
bantuan Pastur Koch SJ, B bagi Basoeki Abdullah, dan mungkin G.P. Adolf bagi
Karyono JS di Surabaya (1940 an), bahkan keberadaan Walter Spies dan Rudolf
Bonnet bagi modernisme Bali yang melahirkan sanggar Pitamaha (1934).
Semangat sanggar di kota batu bisa
dilacak pada sejarah seni lukis di Malang dan Surabaya. Pada tahun 1923 berdiri
Lingkaran (Perkumpulan) Raden Saleh di Surabaya yang melahirkan pelukis Joyo
Wisastro, Supardi dan Pek Gen (Ie Pik Gan). Di sekitar tahun 1950 an, pelukis
Widagdo membuka Pelukis Muda Malang, dan Prabangkara di Surabaya yang
dipelopori oleh Soenarto Timoer dan Wiwik Hidayat. Widagdo juga turut serta
menukangi lahirnya Sekolah Seni Rupa Malang (1956-1964). Kemudiaan pada tanggl
23 Juni 1975, lahir Sanggar Arti di Malang. Baru kemudian pada tahun 1982, diadakan
pameran bersama pelukis Batu yang melahirkan Pondok Seni Batu.
Kultur seni rupa sanggar di Indonesia
nampaknya sudah mulai redup di era tahun 1990 an di beberapa kota-kota besar
(Yogyakarta, Bandung, Jakarta), seiring dengan masuknya budaya ‘kontemporer’
yang juga turut serta mempengaruhi seni rupa di Indonesia. Kosa kata ‘sanggar
seni lukis’, di era tahun 1990 an (atau bahkan semenjak 1980 an), tidak lagi
mengandaikan semangat komunal para seniman seperti hal nya di era 1945 an, dan
berganti menjadi semacam tempat kursus ‘private’ seni lukis. Kelahiran ruang seni rupa alternatif macam
Cemeti Yogyakarta (1988), dengan karya
seni rupa alternatif pula, menciptakan suasana baru kultur seni rupa di
Indonesia yang banyak melahirkan ruang-ruang seni rupa alternatif di beberapa
kota di Jawa. Pada era ini, kosa kata yang banyak digunakan adalah ‘komunitas’
sebagai semangat komunal sebagai pengganti semangat ‘sanggar’ di era
sebelumnya. Semangat komunal pada ‘komunitas’, sedikit banyak dipengaruhi oleh
tradisi seni rupa di wilayah urban (perkotaan). Satu diantara isu estetika yang
diusung kelompok seni rupa kontemporer adalah menghapus seni rupa adi luhung (modern
art), yang dominan pada dekade sebelumnya.
Setidaknya ‘komunitas’ seni rupa di Indonesia pada dekade ini di sokong
oleh dana hibah asing (fund rising) guna
mendorong suburnya wacana seni rupa kontemporer di Indonesia. Sebuah situasi
yang tentu berbeda dalam era seni lukis sanggar yang cendrung menggunakan semangat
‘gotong royong’ dalam membangung produktifitas berkarya mereka.
Sesungguhnya karakter komunal merupakan
kebudayaan masyarakat Indonesia yang cukup otentik. Pada masa sejarah pra
modern Indonesia, yang dikenal sebagai masyarakat yang identik akan kesadaran
kepercayaan, mengenal konsepsi mandala sebagai basis kebudayaan masyarakat masa
itu. Menurut van Naerssen menilai bahwa mandala itu juga merupakan komunitas
para pengrajin, pandai besi, pengecat dan pembuat keramik. Setidaknya semangat
dari komunal para seniman tersebutlah yang masih hingga kini dikenal sebagai
kultur sanggar seni rupa. Nampaknya kultur sanggar lah yang masih cukup bisa
mewakili kesejarahan otentik di Indonesia.
Pondok Seni Batu Hari Ini.
Setidaknya sampai pada tahun 1991 an,
media masa cetak nasional (Kompas) masih menyebutkan kota ‘Malang’ sebagai jati
diri pelukis yang berasal dari kota Batu yang ditulis oleh Agus Darmawan,
ketika mereka (Koeboe Sarawan, Slamet Hendro Kusumo, Anwar, dan lain
sebagainya) berpameran di Bentara Budaya 7-17 Maret 1991. Bahkan jauh sebelumnya, satu diantara pelukis
kota Batu yang cukup kondang, Koeboe Sarawan, pada tahun 1983, berjatidirikan kota Malang dalam sebuah
berita harian Kompas. Bisa jadi perihal jati diri ini adalah persoalan
swatantra (otonomi) pemerintahan kota Batu yang baru di mulai semenjak tahun
2002. Namun, berdirinya Pondok Seni Batu di tahun 1982 an, bisa dianggap
menjadi penanda swatantra seni rupa Batu.
Jati diri ‘Batu’ mungkin baru tercatat
secara media nasional, ketika Para pelukis Pondok Seni Batu, berpemeran bersama
di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, pada 6-16 Juli 1992. Hari ini, para pelukis
Pondok Seni Batu dengan semangat ‘klangenan’ nya diantaranya para pelukis lama
macam Anwar, Tupai, Klemin dan Watoni, serta para pelukis Pondok Seni
selanjutnya macam
Heri Pur, Lukman Hakim, sampai dengan
pelukis pertama kali nya bersama Pondok Seni Batu, Tiok, hadir berpameran
bersama dalam tajuk ‘Dari Seni Rupa Sanggar Sampai Seni Rupa ‘Klangenan’;
Jejak-jejak Para ‘Swa Pengalaman’ (Autodidak)’. Karakter pameran ini
nyaris hampir sama dengan pameran bersama Pondok Seni Batu yang pernah di catat
oleh media massa nasional Kompas pada tanggal 26 Juli 1992. Namun beda nya,
pameran kali ini diadakan di galeri Raos, galeri yang berada di kota Batu
sendiri. Kesamaan karakter tersebut adalah, hadir nya pelukis Anwar, Watoni,
Tupai dan Klemin, yang mengingatkan kehadiran pelukis tua, Vita Suparno
(Almarhum) ketika berpameran bersama dengan para pelukis muda Pondok Seni masa
itu yakni Anwar (27 tahun masa itu) dan Watoni (sekitar 25 an). Kali ini
pelukis Anwar dan Watoni memiliki semangat yang sama dengan Vita Suparno,
bersama para pelukis muda Pondok Seni, Heri Pur, Lukman Hakim, dan pelukis yang
baru pertama kali Tiok.
Para pelukis Pondok Seni Batu kali ini
juga memiliki latar sosial yang hampir sama dengan beberapa karakter para
pelukis Pondok Seni Batu sebelumnya. Seperti yang diutarakan harian Kompas pada
tanggal 26 Juli 1992, pada pameran lukisan Bersebelas, para pelukis Pondok Seni
Batu di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo menyatakan, ‘Mereka kebanyakan berlatar
belakang pendidikan formal umum, misal SMA (sekolah Menengah Atas). Ada yang
wiraswasta, ada juga guru, atau sebagai pekerja apa saja. Pendeknya, mereka
tidak berangkat dari kesenimanan melainkan dari realitas hidup-dan-bekerja’.
Kata ‘...mereka tidak berangkat dari kesenimanan...’ merupakan penanda yang
masih hidup hingga hari ini bagi kalangan pelukis Pondok Seni Batu. Sebut saja,
Lukman Hakim dan Heri Pur, masing-masing bekerja sebagai pendidik seni di
institusi pendidikan formal dan informal, kemudian Tiok, yang berprofesi
sebagai serabutan, kemudian Anwar, Watoni, dan Tupai, adalah berprofesi sebagai
pekerja ‘pesanan’ sesuai momentum. Dan Klemin yang sedang berusaha menapak
sebagai pelukis yang berorientasi pasar.
Sesungguh nya seni lukis sanggar,
khususnya para pelukis Pondok Seni Batu, juga tidak lepas dari pergulatan
modernitas, bahkan paska modernitas, yang akses pengetahuannya tidak lagi
bermuara pada basis akademis. Sebut saja, Watoni, yang memiliki pengalaman akademis
pada institut seni di Yogkarta, menyebut Anselm Kiefer sebagai panutan pelukis
nya, yang ia peroleh dari bacaan-bacaan di internet, namun karya lukisnya masih
bernafaskan ‘genus setempat’ dan tidak larut dengan hiruk pikuk wacana seni
rupa dunia di media maya. Kemudian pelukis Tiok, pelukis baru di Pondok Seni
yang yang cukup fasih menyebutkan beberapa literatur seni macam Sanento
Yuliman, serta pengalaman di Yayasan Cimeti Yogyakarta, serta panutan
pelukisnya terhadap Diego Rivera, menghasilkan karya kontemporer yang bisa
dianggap generasi baru di Pondok Seni. Karya lukisan Tiok, sudah mulai sadar
terhadap penggunaan visual property, sebagai bahan artistik seni rupa
‘kekiniaan’. Begitu hal nya dengan Heri Pur, yang guratan karya nya yang
sedikit mengutip gaya melukis Alberto Burri, sebagai sebuah usaha yang cukup
mutakhir karena memungkinkan dimasukinya visual property ‘setempat’ (lokal)
sebagai bagian artistik. Kemudiaan pelukis Lukman Hakim, yang juga mengenyam
pendidikan seni rupa di Surabaya, adalah karya yang cukup konsisten menggunakan
gaya kaligrafi sebagai pilihan berkaryanya. Panutan Lukman Hakim terhadap Piet
Mondrian cukup memberikan warna terhadap tulisan kaligrafinya yang tidak lagi
terpaku pada huruf, namun pada figur-figur alam. Selanjutnya, pelukis Tupai,
seorang pelukis yang cukup ‘swa pengalaman’, mungkin satu diantara pelukis yang
cukup percaya pada rasa batinnya sendiri, tanpa tendeng aling-aling menggunakan
panutan pelukis ternama, karena gagap terhadap akses-akses pengetahuan teks seni
rupa. Karya Tupai benar-benar sebuah lampias (eksperisi), yang selalu berganti
dan rasa penasaran terhadap warna. Sedangkan Anwar adalah pelukis yang
benar-benar lahir dari kemauan, dan sangat orisinil. Karya-karya kolase Anwar
adalah penggunaan visual property yang benar-benar berasal dari kesehariannya.
Ia Pernah kagum dengan Dede Eri Supria, yang ia kenal dari selembar tabloid
bekas secara tidak sengaja. Yang
terakhir adalah Klemin, adalah satu-satunya pelukis pada pameran kali ini yang
berasal dari dasar-dasar pematung, citac-cita berkarya Klemin mungkin juga
adalah satu-satunya yang paling berbeda dibanding pelukis lainnya pada pameran
ini, yakni ia mempercayai seni rupa pasar, sebagai semangat berkarya yang harus
mulai dibangun bagi para pelukis Batu. Karya-karya lukisan Klemin sendiri
sebenarnya masih berkutat pada persoalan patung secara visual. Walau belum
maksimal menterjemahkan gaya patung dalam bahasa kanfas, cukup menarik
keberanian Klemin mengeksplorasi kanfas dalam bahasa-bahsa patung (sclupture)
Beberapa karya mereka yang berpermaran
hari ini, diantaranya masih cukup
otentik untuk mewakili kultur masyarakat Batu dalam apresiasi karyanya.
Ditengah hingar bingar seni rupa pasar kontemporer, yang mendorong semangat
para pelukis untuk berkarya berdasarkan kecendrungan pasar dan para pialang
seni, para seniman Pondok Seni ini masih bersemangat berkarya dengan semangat
komunal, atau yang biasa mereka kenal sebagai pameran ‘klangenan’. Semangat
komunual dalam karya-karya yang berorientasi ‘klangenan’; inilah yang
terpenting untuk dibaca sebagai dokumen sosial, dalam pergulatan kekiniaannya
terhadap hiruk pikuk teks dalam dunia maya, serta gegap gempita pasar seni rupa
kontemporer. Semangat ‘swa pengalaman’ adalah sebuah usaha para pelukis yang coba
melepaskan diri dari jalur-jalur seni yang terinstitusikan, selayaknya
S.Sudjojono yang mencoba merumuskan modernisme yang tidak dilembagakan
(kolonial Belanda), atau Pitamaha di Ubud Bali (1934) yang mengalami proses
modernisasi sehingga melahirkan ‘subyek’ baru, dengan adanya pelembagaan
kerja-kerja kebudayaan yang melahirkan istilah ‘seniman’ yang tidak ada
sebelumnya sepanjang sejarah masyarakat di Bali. Yang disandarkan pada pameran
hari ini dalam seni rupa ‘klangenan’, adalah sebagai kelanjutan dari ‘genus setempat’(local
genus) dalam sejarah sanggar yang tertera dalam sejarah Seni ukis
Indonesia, entah sebagai ‘persilangan’, atau bisa saja ‘kegelisahan’, bahkan
‘kontradiksi’ antara yang ‘visual art’ dan ‘fine art’. Namun yang
pasti, seni rupa ‘klangenan’ bukan mengurusi soal pasar... Tabik!
Akbar Yumni
Pengantar Pameran