Sebuah tulisan untuk pameran Minimum Explosion di minimaniez art space, Malang
Oleh : K.Yulistio.W ( tiok )*
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain dalam kehidupannya, sekelompok manusia yang saling membutuhkan tersebut akan membentuk suatu kehidupan bersama yang disebut dengan masyarakat. Masyarakat itu sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi. Yang sesuai dengan sistem adat istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Dalam hidup bermasyarakat, manusia senantiasa menyerasikan diri dengan lingkungan sekitarnya dalam usahanya menyesuaikan diri untuk meningkatkan kualitas hidup. Karena itu suatu masyarakat sebenarnya merupakan sistem adaptif, dan masyarakat merupakan wadah untuk memenuhi banyak kepentingan untuk dapat bertahan. Namun disamping itu masyarakat sendiri juga mempunyai beragam kebutuhan yang harus dipenuhi agar masyarakat tersebut dapat bertahan hidup.
Dalam kehidupan bermasyarakat akan melahirkan interaksi – interaksi sosial di dalamnya, seperti medan magnet yang saling tarik menarik di antara kutubnya, Pada sebuah medan sosial masyarakat di kenal tentang sistem nilai yang berupa adat istiadat maupun kebudayaan, banyak faktor yang melingkupi kebudayaan dan sistem nilai yang berlaku di dalam medan sosial masyarakat, salah satunya adalah faktor perpindahan masyarakat dari satu kota ke kota lain yang kita kenal sebagai urbanisasi. Urbanisasi melahirkan sebuah proses pencampuradukan sistem nilai yang berupa kebudayaan, kebiasaan bahkan melahirkan pula sub kultur atau kelompok kebudayaan yang membentuk koloni kecil dalam kerangka kebudayaan induk pada sebuah tatanan kota
Ketika kita berbicara tentang keberadaan sub kultur, maka kita bisa simak pengertian sub kultur Secara sosiologis, bahwa sebuah subkultur adalah sekelompok orang yang memiliki perilaku dan kepercayaan yang berbeda dengan kebudayaan induk mereka. Subkultur dapat terjadi karena perbedaan usia anggotanya, ras, etnisitas, kelas sosial, dan/atau gender. Dan dapat pula terjadi karena perbedaan aesthetik, religi, politik, dan seksual atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Anggota dari suatu subkultur biasanya menunjukan keanggotaan mereka dengan gaya hidup atau simbol-simbol tertentu. Karenanya, studi subkultur seringkali memasukan studi tentang simbolisme (pakaian, musik dan perilaku anggota sub kebudayaan) dan bagaimana simbol tersebut diinterpretasikan oleh kebudayaan induknya. Gaya hidup ,simbol.fesyen, musik, kebiasaan dalam sub kultur adalah bentuk - bentuk perlawanana pada dominasi kebudayaan induk yang menghegemoninya. Bagaimana kelompok kebudayaan ini menggunakan atribut untuk menancapkan nilai – nilai eksistensinya dalam sebuah tatanan kebudayaan sebuah kota. Pada perkembangannya ‘kultur yang dibawa’ inipun mengalami memesis pada konteks pemaknaannya sampai pada perilaku sosial kelompok sub kultur tersebut yang mengalami dekonstruksi nilai dari kebudayaan asalnya.
Hipies, grunge, punk, sampai kaum ‘alay’ menjadi penghias modernitas sebuah kota dalam lingkup medan sosialnya , fenomena tersebut tak ayal menjadi diskursus tersendiri dalam kerangka kebudayaan masyarakat yang serta merta pula mengakibatkan beberapa ketakutan dan kekawatiran dari sebagian masyarakat yang lain. Sub kultur tak ubahnya seperti teror bom yang memberi ketakutan berlebih (paranoid). Tergambar jelas bagaimana Punk menjelma menjadi ‘anak jalanan’ dan harus bermain kucing – kucingan dengan aparatus kota, belum lagi sikap sebagian masyarakat kota yang resah akan keberadaannya. Hal ini hanya salah satu contoh dari banyak fenomena sub kultur yang berkembang. Berbicara tentang teror bom, Indonesia adalah salah satu negara yang kenyang akan fenomena ini, mulai dari bom yang berhulu ledak besar (high explosive), bom bunuh diri, sampai bom dengan daya ledak kecil (low explosive). Bahkan kita pun di kenal sebagai negara pembawa terror dan ketakutan. Dari fenomena berkembangnya sub kultur tersebut diatas, tak ubahnya seperti bom buku yang beberapa kurun waktu lalu sempat membuat paranoid masyarakat kita. Sebuah fenomena ketakutan yang berlebih dalam masyarakat, mengingat daya ledak bom tersebut yang berkekuatan kecil (low explosive) tidak ubahnya seperti mercon atau petasan mainan. Meskipun tidak mampu meledakkan sebuah bangunan, isu tersebut berkembang menjadi sebuah teror atau ketakutan dalam masyarakat.
Subkultur, kebudayaan, bom, dan teror memang konteks yang berbeda. Dari beberapa fenomena diatas dapat di ambil benang merah, bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang reaksioner dan cenderung mengalami ‘ketakutan’ dalam menyikapi banyak hal. Dalam perspektif kebudayaan kita ‘ketakutan’ akan perubahan dan perkembangan jaman selalu tanpa di sadari dengan arif, atau mengkaji terlebih dahulu nilai- nilai yang ada.
Pada pameran Minimum explosion kali ini, ada hal yang menjadi pembeda dan coba di tawarkan sebagai sebuah pergerakan seni rupa dalam konteks medan wacana seni rupa pada umumnya. Saya melihat hadirnya karya – karya rupa dengan ukuran media yang kecil yang berbeda dengan fenomena seni rupa saat ini yang berkembang dengan hadirnya karya yang gigantik (ukuran media yang besar). Hal ini menjadi menarik ketika coba kita ulas bagaimana sebuah karya bila di lihat dari nilai gagasannya. Sebuah pertanyaan sederhana adalah apakah setiap gagasan yang ‘besar’ harus serta merta di eksekusi pada media pengkaryaan yang besar (ukuran) pula? bukankah nilai dari gagasan tersebut sebenarnya ada pada bagaimana ‘ kecerdasan’ cara kita memanajemen isu, bagaimana kita menciptakan ‘ruang gerak’, serta ‘pasar’ tersendiri, sehingga dapat menjadi ‘explosive’ sebagaimana besifat zat reaktif yang berisi sejumlah besar energi potensial yang dapat menghasilkan sebuah ledakan,dan semoga menjadi ‘kesadaran ruang’ bersama tanpa meninggalkan ‘ketakutan’ baru.
Beragam kota dan karya dari perupa peserta pameran ini turut andil dalam membangun dialog serta jejaring wacana yang berkembang,bagaimana menciptakan dialog, kerja sel antar jejaring,bertukar isu perkembangan dan gagasan saya pikir justru hal yang penting dalam menyikapi fenomena wacana yang kian hari semakin bergerak.Peristiwa – peristiwa kecil seni rupa di berbagai kota yang terekam serta adanya jejaring komunikasi yang intens dalam menyikapi perkembangan wacana pada masing- masing kota tersebut menjadi sangat menarik dalam mengukur perkembangan seni rupa kita serta mampu menyebar ‘virus’ wacana baru yang tidak harus mengikuti ‘mainstream’ yang sudah ada dan terjadi. Yah!! Seperti punk, grunge dan sub kultur yang lain, bom buku, adalah hal kecil dengan kerja sel yang kolektif, manajemen yang ‘cerdas’ pasti akan menghasilkan gagasan serta isu yang besar pula. BLAAAR! Viva creativa !!,Cheers.....
0 komentar:
Posting Komentar