Jumat, 18 Januari 2013

Seri Wonderland


Dancing on Tantra
Acrilic, Pencil on Canvas
2010

Dreaming on Tantra
Acrilic on Canvas
2010
After the Rain
Acrylic on Canvas
2011

Dancing in Wonderland
Acrilic on Canvas
2011

Minggu, 13 Januari 2013

Pengantar Kritik Seni Rupa



Oleh : K. Yulistio.W ( tiok )*


Dalam proses seni visual ada 3 proses yang di lakukan, yakni aktivitas kreasi, aktivitas apresiasi, dan aktivitas kritik seni. Aktivitas kreasi  yaitu mengacu adanya seniman yang menghadirkan karya. Artinya, dalam proses seniman bersinggungan dengan kenyataan objektif di luar dirinya atau kenyataan subyektif dalam dirinya sendiri. Persinggungan tersebut menimbulkan respon atau tanggapan. Tanggapan yang dimilikinya dipresentasikan ke luar dirinya, maka lahirlah karya seni. Aktivitas apresiasi, yaitu aktivitas seseorang dalam memahami karya seni untuk mendapatkan suatu pengalaman estetik artistic dan visual. Artinya, apresian merasa puas setelah mengamati karya seni dan memperoleh kepuasan estetik. Kepuasan estetik merupakan hasil interaksi antara karya seni dengan apresian. Sedangkan aktivitas kritik seni, yakni sebagai usaha pemahaman dan penikmatan karya seni. Dalam hal ini kritik sebagai kajian rinci dan apresiatif dengan analisis yang logis dan argumentatif untuk menafsirkan karya seni. . Kritik, yakni proses evaluasi untuk menentukan baik-buruknya suatu ciptaan atau memberi penjelasan terhadap suatu karya berdasarkan norma-norma tertentu. Oleh karena itu, ketiga aktivitas itu, yakni antara seniman, apresiasi, dan kritik seni (penilaian) merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Proses apresiasi memang menjadi satu kebutuhan dan kritik adalah kebutuhan yang lain. Keduanya dapat berkait ketika kritik berhasil sebagai pemandu pemahaman dan apresiasi. Kritik selalu diharapkan menjadi pembuka kemungkinan adanya proses pemahaman antara kerja seniman dan daya apresiasi masyarakat penikmatnya. Tugas kritik karya seni akan lebih banyak pada prioritas pada apresiasi

unsur-unsur karya  rupa yang meliputi:

Garis
Garis dapat berupa garis nyata atau garis imajiner. Garis tersebut memiliki dimensi panjang, arah, dan sifat-sifat umum (lurus, bengkok, bergelombang, dsb.). Garis memiliki arah vertikal, horisontal, dan diagonal. Garis nyata bersifat linier atau kaligrafis. Garis imajiner, yakni batas bidang, bidang, gelap terang, massa, dan warna. Garis digunakan untuk menciptakan bentuk.
Bidang
Bidang (seni rupa/umum) adalah area permukaan datar/2 dimensi atau keluasan yang memiliki panjang dan lebar (geometris dan organis). Bidang: garis-garis dan sisi yang terhubung dengan satu atau lebih titik hilang. Bidang (arsitektur dan desain): bidang-bidang yang digunakan untuk membentuk komposisi 2D dan 3D dan area permukaan untuk membuat bentuk volumetrik.
Bentuk
Unsur bentuk ada dua macam yaitu bentuk dua dimensi dan bentuk tiga dimensi. Bentuk dua dimensi (shape) adalah bidang datar yang dibatasi oleh garis. Sementara bentuk tiga dimensi (form) adalah ruang yang bervolume dibatasi oleh permukaan.
Bentuk memiliki dua macam sifat, yaitu bentuk yang bersifat geometris dan organis. Bentuk geometris: bentuk yang memiliki susunan struktur teratur (permukaan/bidang mudah diukur panjang dan lebarnya, isi atau volumenya). Bentuk organis: bentuk yang memiliki susunan struktur tidak teratur (permukaan/bidang atau lengkungan yang tidak teratur sehingga lebih sulit atau bahkan tidak bisa untuk mengukurnya).

Ruang
Ruang adalah bidang atau keluasan. Ruang mungkin 2D atau 3D. Ruang merupakan unsur dasar seni rupa, sebenarnya seni rupa didefinisikan sebagai organisasi ruang. Di dalam suatu susunan ada ruang positif yaitu ruang dibatasi oleh suatu batas tepi berupa garis, sedang ruang negatif adalah ruang yang berada di antara ruang-ruang positif.
Warna
Warna merupakan kesan yang ditimbulkan oleh cahaya. Sistem yang paling sederhana untuk mengetahui hubungan warna-warna adalah susunan warna dalam bentuk lingkaran warna.
Tekstur
Menduduki tempat yang khusus dalam seni rupa karena tekstur merupakan bahan dasar dari mana sebuah karya seni rupa dibuat. Tekstur yakni nilai raba dari suatu permukaan. Dapat dianalisa dalam tiga aspek: (a) kualitas raba dari permukaan; (b) kualitas raba dari manipulasi benda tiga dimensi; dan (d) kualitas visual dari permukaan benda.
Gelap - Terang (Tone)
Gelap terang adalah perbedaan warna hitam dan putih, serta kisaran warna abu-abu di antaranya. Gelap terang digunakan untuk memberikan ilusi kenyataan tiga dimensi.

serta menggunakan prinsip rupa berupa :

Gradasi
Prinsip rangkaian dari unit yang berdekatan sama dalam segala hal kecuali perbedaan perubahan tingkatan dari satu unit ke unit selanjutnya.
Irama
Irama adalah kesinambungan atau alur yang dicapai dengan repitisi (pengulangan) dan pengukuran bagian-bagian yang sama atau mirip. Irama dapat bersifat sederhana, menggunakan satu jenis ukuran, atau gabungan beberapa jenis ukuran yang hadir secara simultan, atau merupakan variasi kompleks dengan menggunakan aksen-aksen tertentu.
Perasaan gerakan dari organisasi unsur-unsur seni rupa, gerakannya bisa mengalir, terpotong, lembut, berulang, dan beruntun.
Kontras
Pertentangan yang kelihatan justru bertujuan memperlihatkan ketidaksamaannya.
Penekanan dan repetisi
Repitisi adalah cara penekanan ulang satuan-satuan visual dalam suatu pola. Repitisi tidak selalu merupakan duplikasi secara persis, tetapi juga kemiripan. Variasi repitisi dapat memperkuat daya tarik suatu pola atau agar pola tersebut tidak membosankan. Berikut kreasi suatu titik pusat atau pusat perhatian.
Pusat perhatian
Mengkonsentrasikan pusat pikiran menuju pada satu titik secara bertahap
Proporsi
Hasil hubungan perbandingan jarak, ukuran, jumlah, tingkatan, dan bagian. Perbandingan hubungan: (a) di dalam satu bagian; (b) di antara bagian-bagian; (c) bagian dengan keseluruhan; dan (d) keseluruhan dengan sekitarny
Keseimbangan
Keseimbangan mengesankan keseimbangan gaya berat seperti pada timbangan. Keseimbangan merupakan keseimbangan optis yang dapat dirasakan di antara bagian-bagian dalam karya seni rupa. Keseimbangan merupakan suatu perasaan akan adanya kesejajaran, kestabilan, ketenangan dari berat, ukuran, dan kepadatan dari suatu susunan.
Harmoni
Harmoni digunakan mengikat bagian-bagian berbeda dan berlawanan. Harmoni dicapai melalui repitisi dan irama. Variasi melalui perbedaan dan perubahan. Harmoni mengikat bagian-bagian dalam kesatuan. Sedangkan variasi menambah daya tarik pada keseluruhan bentuk atau komposisi. Tanpa variasi, komposisi menjadi statis atau tidak memiliki vitalitas. Jadi harmoni adalah suatu kepekaan dalam perasaan, kombinasi yang menyenangkan dari susunan yang berbeda.
Kesatuan
Penyusunan dalam seni rupa yaitu pengembangan keseluruhan secara menyatu berdasarkan bagian-bagian yang berbeda-beda. Perasaan yang lengkap secara keseluruhan, penyatuan yang total, kualitas hubungan yang logis, dan selesai. Merupakan akhir dari seluruh prinsip penyusunan unsur seni rupa.

Dari data visual diatas dapat di gunakan sebagai bahan dari metode kritik seni, diantaranya langkah  metode kritik seni visual adalah dengan menggunakan pendekatan :

Analisis Formal
Dalam analisis formal diupayakan bagaimana menjelaskan objek kritik dengan sekian data. Proses ini lanjutan dari yang pertama, mulai menjelaskan bagaimana objek itu diatur menurut kepentingannya, seperti: bentuk, luas warna, garis luar secara khusus, barik, dan komposisi. Analisis formal juga termasuk jenis deskripsi, akan tetapi ia tidak hanya bicara soal penjelasan objek, melainkan juga mengikutsertakan kualitas unsur visual.
Paparan ini menuju ke arah bagaimana proses distorsi mulai dilakukan. Bermula dari penjelasan ihwal gagasan hingga kepada bagaimana ketika bentuk diungkapkan mengalami urutan perubahan-perbahan. Analisis formal berangkat dari wujud nyata dalam karya, akan tetapi terdapat langkah kajian yang lebih bersifat sebab-akibat. Analisis formal memperlihatkan usaha untuk menjelaskan karya secara objektif dan hubungannya dengan tafsiran dalam penelaan.
Analisis formal mulai bergeser dari sekadar paparan deskriptif objek ke arah pernyataan tentang bagaimana menafsirkan bentuk. Gagasan yang menerangkan proses kekaryaan disusun sebagai data penyelidikan tambahan yang berpengaruh dalam kerangka untuk menarik tafsiran-tafsiran.
Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran. Penafsiran adalah suatu upaya untuk menjernihkan persoalan di dalam proses pengertian, yaitu dengan cara mengungkapkan setiap detail proses interpretasi dengan bahasa yang tepat. Penjelasan cara kerja seniman dan proses pengubahannya diuraikan sebagai tafsiran yang merujuk kepada suatu proses penemuan seniman, juga meliputi hubungan-hubungan yang bisa ditarik dengan unsur-unsur bahasa visual yang ditampilkan.
Bentuk penilaian pada objek seni rupa merupakan penggabungan atau pertemuan antara individualitas dengan gagasan, materi, dan pengalaman yang saling berhubungan.
Evaluasi
Deskripsi, analisis formal, dan penafsiran/interpretasi atas data-data visual dan pernyataan-pernyataan telah menjadi bagian kelengkapan penilaian. Proses penilaian harus merupakan bagian kritik yang jelas. Jika memberikan kepuasan, artinya penilaian kritikus dapat memenuhi fungsinya sebagai pemahaman.

 * Penulis adalah Perupa dan Manager Operasional GROW art forum






































Standart Operational System Dalam Pameran Seni Rupa

Dalam sebuah Pameran seni rupa ada beberapa langkah yg di lakukan sebagai upaya untuk pencapaian target capaian yang maksimal, hal ini di tempuh guna meningkatkan proses apresiasi dan perkembangan seni rupa itu sendiri, hal hal yang perlu di tempuh adalaha sebagai berikut :

Konsepsi                     :
a.Menentukan Gagasan, Konsepsi, dan Tema pameran berdasar pada analisis dan riset yang kemudian di susun dalam T.O.R, hal ini adalah langkah awal yang paling penting, karena dari sini kita bisa menentukan penggambaran kegiatan, strategi bahkan target operasional
b.Pembentukan kepanitiaan

Pra Produksi Karya :
Adalah pembacaan tema dan T.O.R sebagai sebuah analisis personal yg akan di ungkap kedalam materi karya bisa di pertajam melalui media diskusi dan sharing tentang pemahaman sebuah tema

Produksi Karya         :
Penerjemahan tema pada citra visual dan media karya dengan  memperhatikan pemilihan media serta bentuk visual yg sudah terkonsep dan di pahami dengan benar dari tema yg telah di tentukan.

Pasca Produksi          :
a.Presentasi karya
b.Kritik karya, kuratorial, seleksi atau evaluasi karya

Pra Pameran                         :
Persiapan teknis yang meliputi :
a.Pengumpulan dokumentasi karya, data karya , dan curriculum vitae
b.Pembuatan Proposal pendanaan dan kerjasama serta melakukan negosiasi kerjasama
d.Pembuatan  media Publikasi : Undangan, Leaflet, Banner dan catalog serta pembuatan  .Pers Release serta persebaran Undangan dan media publikasi ( cetak, elektronik dan jejaring social )
e.Seeting karya dan persiapan Pembukaan pameran
f.Konfrensi Pers ( kerja kehumasan )

Pameran                     :
Pembukaan dan seremonial acara
Diskusi dan sarasehan
Dokumentasi

Pasca Pameran          :
Evaluasi dengan pendekatan analisis capaian target yg kemudian menyusun laporan secara tertulis

SENI RUPA , (RE) Presentasi Ruang PUBLIK



Oleh : K. Yulistio. W

Kami mendapat sepenggal cerita dari tuan ‘google ‘
Bahwa di sini pernah ada, sebuah tugu peringatan sejarah yang sangat artistik
Di rancang dan di bangun oleh seorang seniman
Dengan nama tuan yg tak kami kenal
Karena hal itu sudah usang dan lama…
Dan sekarang  berganti
Dengan bangunan berderet minimalis
seragam di setiap sudut kota..
kami tak bisa mengenali lagi sejarah tua dan para pendahulu kami
yang bisa kami hargai dan membuat kami bisa belajar
hingga kami menciptakan sejarah ‘ baru ‘ kami sendiri
dengan coretan dan gambar di dinding minimalis kota
yang berjajar rapi
karena kami ingin gagasan kami di dengar…..
karena kami generasi ‘baru’ yang (tak tahu),
bagaimana peradaban bangsa ini di bangun
Kita sering mendengar dan saksikan entah itu dari berita di media atau kasak kusuk di telinga tentang karya-karya seni rupa yang dihadirkan di ruang publik.baik karya – karya yang merupakan symbol identitas sejarah kota ataupun karya baru symbol peradaban budaya ‘baru’ , Peristiwa hadirnya seni rupa di ruang – ruang public ini sering kali memancing beragam respons publik, baik dari masyarakat luas maupun dari mereka yang mengaku sebagai para penghuni , penguasa atau pengguna ruang-ruang publik itu. Contoh sederhana adalah sejumlah peristiwa tentang penolakan (oleh aparatus pemerintah dengan mengatasnamakan masyarakat), pembongkaran, dan pemindahan sejumlah karya tiga dimensional yang dipasang di sejumlah sudut kota Yogyakarta di sebuah republic antah berantah, terkait dengan peristiwa Biennale Jogja X-2009 (patung ”Ada Diantaranya” karya Yul Hendri yang dipasang di daerah Badran, patung ”Terbelenggu” karya Anjar Warsito dan Daroji yang akan dipasang di bundaran kampus UGM, dan karya kolaborasi Agustioko dan Rony Lampah ”Like Star on The Sky” yang harus dipindah dari perempatan Demangan ke kompleks Jogja National Museum, Gampingan).
Peristiwa itu terjadi, tentu berpangkal dari berbagai kemungkinan; misalnya, perihal adanya kesenjangan apresiasi masyarakat terhadap sejumlah karya seni rupa, atau perihal sikap sewenang-wenang aparatus pemerintah yang merasa terusik oleh ”benda-benda asing” tanpa prosedur birokrasi yang mereka harapkan (baca: harus minta izin), atau kemungkinan lainnya adalah sikap sewenang-wenang sang seniman terkait dengan aksi kreativitasnya, yang mengatasnamakan ”kebebasan berekspresi”.
Terhadap berbagai kemungkinan itu, pangkal persoalannya adalah tiadanya komunikasi yang baik dan produktif, serta kesewenang-wenangan tafsir atas karya seni dan parameter kelayakan kehadiran di sebuah ruang. Menyikapi peristiwa itu tanpa kerendah hatian untuk saling belajar, maka akan berpotensi mengundang sikap anarkis oleh banyak pihak.



Ruang publik sebagai gagasan dari dulu sampai kekinian

Sejak masa Persagi, penempatan karya pada ruang publik telah dilakukan, misalnya dengan menempelkan poster-poster perjuangan, atau baliho (poster ukuran besar) di ruang publik seperti yang dilakukan oleh partai-partai politik pada masa sebelum 1965 dan pada masa Orde Baru. Kehadiran poster dan baliho dalam ukuran besar bertujuan untuk menyampaikan pesan politik atau pesan pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah secara langsung kepada masyarakat luas. Tidak adanya tujuan lain daripada keinginan untuk menyampaikan pesan secara langsung dan menjangkau publik dalam jumlah yang luas menjadikan media ini hanya sebagai pilihan media untuk menjangkau pemirsa yang luas. Tentunya juga tidak akan membuat wacana baru dalam seni rupa kita

Kehadiran dua kelompok perupa yang saat ini secara intens menggarap ruang publik sebagai salah satu media penciptaan karya mereka tentu menarik untuk disimak. Apakah karya mereka diciptakan dengan suatu kesadaran yang berbeda dengan aktivitas sebelumnya? Kelompok Apotik Komik memakai idiom gambar sebagaimana layaknya sebuah komik sebagai bentuk ekspresi mereka. Penciptaan mereka dilandasi oleh semangat bermain yang kental. Keinginan untuk merambah bahasa gambar komik adalah suatu keputusan yang disadari sepenuhnya sebagai upaya untuk bisa keluar dari keseriusan penciptaan seni rupa pada 1995, dimana instalasi menjamur dan performans sebagai tren dalam dunia seni rupa kontemporer. Mereka sadar betul akan konsekuensi yang diambil pada masa itu, bahwa karya mereka sangat mungkin untuk tidak masuk dalam jajaran seni rupa kontemporer. Bahkan ketika mereka mulai memperbesar ukuran komik dari ukuran sebenarnya dan munculnya gagasan untuk menempatkan komik sebagaimana layaknya sebuah grafiti di jalanan. Gagasan-gagasan awal yang penuh dengan semangat main-main mulai membuat pengamat seni rupa, galeri dan kurator memperhatikan ulah mereka yang dianggap membuka wacana baru dalam seni rupa kontemporer, dimana bahasa gambar yang ditempatkan di ruang publik ikut meramaikan perjalanan seni rupa kontemporer Indonesia. Aktivitas mereka yang pada awalnya menganggap ruang publik hanya sebagai media ekspresi alternatif, ternyata menyadarkan mereka bahwa kehadiran masyarakat di sekitar tempat karya-karya itu diciptakan ikut menjadi bagian dari penciptaannya.

Pada sisi lain kelompok Lembaga Budaya Kerakyatan “Taring Padi” adalah kelompok yang secara intens menciptakan karya-karya yang mereka tempatkan pada ruang publik. Tujuan mereka sangat jelas, memakai ruang publik untuk mempresentasikan karya-karya mereka yang sarat dengan pesan-pesan sosial, agar karya-karya tersebut bisa dikomunikasikan kepada masyarakat luas. Mereka memakai seni rupa sebagai media untuk penyadaran kepada masyarakat. Aktivitas seni rupa LBK “Taring Padi” dibagi dalam dua kecenderungan, yaitu yang bersifat praksis yang biasanya dilakukan bersama masyarakat, dan kecenderungan lain adalah penciptaan karya-karya individual. Praksis adalah aktivitas antara seniman dan komunitas masyarakat yang mempergunakan media seni rupa. Aktivitas ini bertujuan untuk membangun kesadaran baru bagi masyarakat akan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya. Penciptaan karya TP yang sarat dengan ideologi di mana di dalam proses penciptaan yang bersifat praksis, dibutuhkan suatu kesadaran emansipatif dan partisipatif antara seniman dan masyarakat. Seniman dan masyarakat berada pada posisi yang setara, masing-masing sebagai subjek dan proses penciptaan karya seni rupa bersifat kolaborasi. Demikian juga dengan karya yang ditempatkan di ruang publik bisa merupakan karya individual atau komunal.

Proses transformasi penyadaran ini berlangsung seniman mempunyai pengalaman baru dan semakin memahami realitas masyarakat. Persinggungan ini menghasilkan kesadaran baru pada kedua belah pihak, yaitu aktivis “Taring Padi” dan masyarakat. Proses dialogis ini penting, karena tidak ada kesadaran yang tumbuh sendiri tanpa melalui dialog atau interaksi dengan masyarakatnya. Kesadaran ini kemudian menentukan sikap keberpihakan dalam tingkat ideologi dan akan terefleksi dalam karya-karya mereka. Kesadaran inilah menurut mereka yang akan membedakan karya-karya kelompok “Taring Padi” dengan perupa lainnya. Di mana karya perupa “TP” tidak hanya berhenti pada refleksi per-masalahan yang muncul pada masyarakat atau sikap kritis, tetapi lebih dari itu memberikan solusi, yang bisa berupa semangat. Mereka menyebutkan karya-karyanya dengan istilah “seni rupa kerakyatan”, seni yang egaliter, demokratis, humanis, antidiskriminasi, antigender, berkeadilan sosial, ekologis, liberasi dalam berpikir dan bertindak, serta terbuka bagi pengetahuan lokal. “Rakyat” yang berarti masyarakat kelas bawah yang tertindas perlu informasi dan penyadaran. Di mana galeri tidak selalu bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat bawah yang disebut rakyat.

Pesan-pesan sosial yang ditujukan kepada masyarakat secara sadar dilandasi oleh keinginan untuk membangun kesadaran kritis masyarakat terhadap permasalahan-permasalahan yang ada di sekitar mereka. Media ruang publik dianggap cukup efisien dalam menyampaikan pesan-pesan mereka pada masyarakat luas, selain cara praksis.
Bagaimana seni rupa di bangun di (Ruang Publik )
Seni publik pada dasarnya (dan idealnya) adalah seni yang digubah/diproduksi oleh seniman (bersama komunitas pendukung, komunitas yang di/terbentuk di sekitarnya), untuk dan dimiliki oleh suatu komunitas atau masyarakat. Karena itu, tak jarang karya seni publik merepresentasikan ”kepentingan” (kegelisahan, pikiran-pikiran, impian, harapan, dan sebagainya) publik pendukungnya, dan memang demikianlah seharusnya.
Seni (di raung) publik bisa berupa mural, taman, karya monumental, yang bersifat temporer atau permanen. Mengacu pada sejarah seni rupa Barat, public art dikenal sejak 1960-an, khususnya di Amerika. Seniman penggeraknya antara lain Roy Lichtenstein, Claes Oldenburg, Robert Morris, Isamu Noguchi (salah satu karyanya yang popular: Horace E Dodge and Son Memorial Fountain, 1978, berbahan baja dengan dasar batu granit, tinggi 7,32 meter, yang dipasang di Philip A Hart Plaza, Detroit), Niki de Saint Phalle, Tony Smith, dan lain-lain. Intinya, public art diproduksi untuk dan dimiliki oleh suatu komunitas atau warga masyarakat. Wataknya partisipatif dan (produknya) interaktif (bisa disentuh, bahkan ada yang harus disentuh, menjadi bagian integral dari ruang publik). Masyarakat sekitar dilibatkan dalam proses, diajak bicara, diajak terlibat atau mengerjakan, minimal dijadikan dasar pertimbangan mengapa sebuah karya dianggap penting berada di suatu tempat tertentu.
.
Sesungguhnya tidak mudah memasang (apalagi secara permanen) karya seni di ruang publik (di kota/negara mana pun). Juga tidak bisa begitu saja menyodorkan karya seni (seni rupa, seni tampilan/performance art) untuk nangkring dan hadir di ruang publik secara sewenang-wenang. Peristiwa legendaris yang dilakukan oleh seniman Javacheff Christo, dengan karya environmental sculptor, ketika membungkus gedung parlemen Berlin, ”Wrapped Reichstag” (1971-1995) dapat dijadikan model ideal. Proses negosiasi dengan Pemerintah Jerman berlangsung selama 24 tahun, yang diakhiri dengan proses dan keputusan politik; pada 25 Februari 1994, di parlemen dilangsungkan debat tentang proyek tersebut lebih dari satu jam, disusul dengan voting. Dari anggota parlemen sekitar 525 orang, proyek ”Wrapped Reichstag” disetujui oleh 292 anggota, 223 anggota menolak, 9 anggota abstain, dan 1 suara tidak sah. Proyek yang menghabiskan material kain 100.000 meter persegi, rangka struktur baja ribuan meter, melibatkan 90 pemanjat profesional, 120 pekerja instalasi, selesai pada Juni 1995. Proyek ini sungguh tak terlupakan sepanjang sejarah, meski bersifat temporer.
Kita bisa menemukan sedikit contoh lain. Di pusat kota Berlin, atau Kyoto misalnya, di tengah hamparan bangunan heritage, hampir tidak ada karya seni kontemporer (apalagi baliho/iklan yang rakus) yang ”mencuri” atau ”merusak” atmosfer lingkungan. Baru kemudian di kawasan elite baru dan modern, seperti Postdamrplast (Berlin), bisa ditemukan beberapa karya seni patung kontemporer, antara lain karya Keith Harring yang mencolok: berbahan gelas, dengan bentuk seperti balon warna-warni. Juga terdapat stage di taman yang strategis, yang bisa digunakan oleh para seniman pertunjukan (pantomim, tari, musik, baca puisi, dan lain-lain).
Contoh lain, di beberapa sudut kota Jedah, termasuk pinggiran pantai Laut Merah, berderet patung-patung publik dengan ukuran gigantic menghiasi panorama kota dan pantai yang tenang dan indah. Kemudian di kota Chancun, bagian utara kota Beijing, China, disediakan lahan amat luas, untuk dijadikan taman patung. Pemerintah China membuat acara tahunan di kota itu, dengan cara menghadirkan para pematung dari berbagai negara untuk berkarya secara permanen, dengan bentuk, material, bahkan ukuran dibebaskan.
Bagaimana dengan di Indonesia? Sejumlah kasus penolakan (oleh aparatus pemerintah), pembongkaran, dan pemindahan karya seni rupa di ruang publik pada peristiwa Biennale Jogja X seperti contoh diatas menunjukkan adanya selip komunikasi dan pengertian di antara para pihak. Komunikasi, negosiasi, dan partisipasi merupakan kata kunci agar tidak terjadi (dan terulang) peristiwa sewenang-wenang (oleh seniman maupun birokrat) semacam itu.
Proyek ”muralisasi” oleh Apotik Komik  dan taring padi yang melibatkan masyarakat setempat, kemudian proyek serupa oleh Samuel Indratma misalnya, dapat disebut sebagai contoh bagaimana modus operandi seni publik. Ruang publik semestinya tidak ”diakuisisi” secara sewenang-wenang oleh sang seniman, namun sekadar dijadikan ruang berekspresi, yang prosesnya melibatkan warga sebagai pengguna. Seni di ruang publik, seperti sudah disebut di atas, bisa dalam bentuk apa saja: bisa berupa karya-karya seni rupa, bahkan berupa seni (rupa) pertunjukan (performance art), seni peristiwa (happening art), seni lingkungan (environment art), dan lain-lain
Kita bayangkan seandainya terjadinya sinergi antara seniman, arsitek, dan dengan birokrat kota untuk menciptakan ”tata kota” yang ”sarat seni dan manusiawi”. Ketiganya juga bisa menjadi inspirator dan motivator pembangunan kota yang lebih berbudaya, dengan cara memikirkan bagaimana membuat setiap kota memiliki karakter serta cultural landmark. Dengan sinergi dan komunikasi yang intensif di antara mereka, maka setiap peristiwa budaya, seperti berbagai festival, pameran seni rupa dan sebagainya menjadi peristiwa budaya milik bersama, dan menjadi kebanggaan bersama.
Yang dibutuhkan dari birokrat hanyalah sikap tanggap, cerdas, dan cepat merespons, kemudian memfasilitasi, dan tak perlu ribet sendiri. Sinergi itulah yang hingga hari ini belum terjadi dengan mesra, indah, cerdas, dan produktif.
Seniman, arsitek, dan birokrat, secara umum, masih berada dalam ”ruang” masing-masing dan bersifat elitis. Sangat dibutuhkan kesadaran untuk ”sinergi, siasat, kecerdasan, dan kreativitas” untuk mengelola sebuah kota. Sebelum sebuah kota telanjur menjadi semakin sumpek, ganas, beringas, dan kehilangan atmosfer kemanusiaannya, para arsitek dan seniman bersama ”masyarakat” harus bersatu. Pemerintah harus banyak mendengar dan mengajak semua pihak untuk mewujudkan kota yang ”nyeni, berbudaya, dan manusiawi”.

Semoga kita bisa belajar dari sejarah, pengalaman di Negara tetangga dan banyak hal bahwa seni rupa dan ruang public merupakan sebuah kebutuhan yang ideal, sebagai sebuah cita cita bersama, bagaimana seni rupa sebagai media komunikasi yang harusnya mampu untuk berkomunikasi dan menjadi sebuah kesadaran bersama yang menjadi kebutuhan pada public yang lebih luas

Karya Digital #2



Idiologi Rebel #1

Idiologi Rebel #2

Idiologi Rebel #3


Ideologi Rebel #4

Menilik dari Sejarah dan Membaca Perkembangan Seni Rupa


(Sebuah catatan singkat pembacaan seni rupa di Malang)
Oleh: K. Yulistio. W & Akbar Yumni*

Sebagai sebuah catatan, jika kita sidikit menilik dari sejarah , Malang sebenarnya juga memiliki sejarah seni rupa yang cukup panjang, jejak sejarah lahirnya seni rupa modern di malang juga dapat kita lihat pada kemunculan sanggar – sanggar di  tahun 50 an yang mengusung gayagaya seni rupa dengan corak pemandangan alam yang kita kenal dengan sebutan mooi indie. Pada kisaran tahun tersebut mulai bermunculan sanggar- sanggar seni rupa di kota ini. Berdirinya jurusan seni rupa di IKIP Malang yang sekarang berganti nama menjadi Universitas Negeri Malang di tahun 1968 juga memberikan warna dan perkembangan yang cukup signifikan terhadap perkembangan seni rupa di Malang.
Dalam perkembangannya di tahun 2000an di Malang berkembang pula kelompok – kelompok seni rupa di kalangan akademisi, disini dapat kita pilah menjadi 2 kategorisasi akademisi seni rupa dan non akademisi seni rupa ,yang juga banyak terdapat kelompok – kelompok seni rupa di dalam dan di luar kegiatan di kampus. Di kalangan latar belakang akademisi seni rupa muncul kelompok Kentjing Andjing, Portal dan di kalangan non akademisi muncul kelompok Komunitas seni Asma, Kelompok studi seni rupa Lentera, sanggar Blitz, dan masih banyak yang lainya. Dari kelompok – kelompok ini pun lahir berbagai pemikiran – pemikiran baru di duniua seni rupa di malang kita contohkan saja seperti sebuah acara yang di gelar teman- teman dari Lentera yang berinisiatif membangun lokal jaringan dan pemikiran dengan mengumpulkan elemen seni rupa di Malang dalam sebuah dialog dan forum adalah sebuah langkah yang cukup bagus untuk mencoba menerobos kebuntuan- kebuntuan yang terjadi dalam wacana dan gerak seni rupa di Malang. Mereka juga beberapa kali mengadakan dialog dan forum dari luar kota Malang dan membentuk sebuah jaringan komunikasi diantara perupa- perupa yang terlibat di dalamnya
Muncul pula beberapa Galeri yang di kelola secara profesional yang cukup bisa memberikan angin segar dalam hal isu dan wacana bagi perkembangan kota Malang dalam seni rupa, semisal, berdirinya Puri art gallery yang banyak menyelenggarakan event – event dan bekerja sama dengan galeri di luar Malang yang justru saya liat sebagai sebuah upaya dialektis untuk memasukkan wacana dan isu –isu seni rupa di luar kota Malang dan mencoba membuat gesekan – gesekan wacana di kota ini, muncul pula Semar art gallery yang banyak mengusung karya – karya seni lukis Tionghoa,  Pondok Seni Batu, Hamursava sebagai sebuah ruang pamer, dan ruang pamer perpustakaan kota Malang yang beberapa kali menggelar acara seni rupa baik bertajuk pameran maupun diskusi.
Sedangkan di kalangan mudanya juga muncul beberapa forum dan ruang – ruang alternatif yang selalu aktif dalam gesekan wacana dan proses berkesenian seperti BKJT ( Belok Kiri Jalan Terus), Insomnium dan Rumah Sakit Seni. Seperti halnya Insomnium dan Rumah Sakit Seni selain sebagai sebuah komunitas yang bergerak dalam kajian – kajian dan riset visual art  juga banyak melakukan kegiatannya yang berorientasi dengan lingkungan masyarakat sekitar serta memiliki ruang pamer yang kondusif dan mengkhususkan dirinya pada perkembangan seni rupa alternatif di Malang.
Dari sekian fenomena seni rupa yang telah teridentifikasi baik secara komunikasi dan jaringan, tanpa menutup Malang juga masih banyak pelaku seni rupa di wilayah pedesaan yang mengorientasikan seni bagi dirinya secara militan sebagai tradisi dan keyakinan yang belum mampu di komunikasikan dan di dokumentasikan. Untuk yang satu ini juga merupakan entitas penting untuk dikenali sebagai refrensi dan mengenali representasi kebudayaan, khususnya di seni rupa yang ada di Malang.
Mengenali fenomena dan kondisi seni rupa di Malang bisa diidentifikasi melalui semangat yang eksis dari para pelaku seni rupa di Malang itu sendiri. Hal ini sangat terkait dengan adanya beberapa pelaku seni rupa yang sengaja mengorientasikan dirinya secara berbeda-beda, baik itu yang bergantung pada konsep galeri maupun pada pelaku seni rupa yang memiliki idealisme murni pada karya dan publik. Perbedaan semangat ini pada dasarnya bukanlah dua kutub yang oposisi biner, karena permasalahan orientasi karya bisa menjadi hak otonom individu perupa dalam memaknai karyanya sendiri. Kecendrungan factor psikologis pada pelaku perupa, serta kurangnya jalur komunikasi, serta ruang bersamalah yang kemudiaan menyebabkan dikotomi antara perupa yang menggantungkan hidupnya di galeri dengan non galeri, walaupun perdebatan mengenai idealisme diantara masing-masing mereka, khususnya mengenai estetika justru menarik untuk membangun ruang dialektika bersama.
Keberadaan Dewan Kesenian Malang (DKM), sebagai sebuah bentuk infrastur kesenian yang di fasilitasi oleh Negara, adalah ruang public yang seharusnya mampu mengakumulasi dan menyokong kehidupan seni rupa yang ada di Malang. Semangat DKM yang memang banyak di sokong oleh pemerintahan daerah, menyebabkan perilaku yang pararel yakni praktek dan managerial yang dilakukan DKM terkesan birokratis dan formal. Kesenian yang bergantung pada Negara tentu bisa menjadi hal yang naïf, begitu pula halnya seni yang bergantung pada pasar juga bisa kontraproduktif. Beberapa ruang-ruang kebudayaan independent di Malang telah mampu menghidupi dirinya sendiri, walaupun masih harus mengakali sarana dan prasarana yang ada, namun masih lemah dalam berkomunikasi dan berjaringan diantara ruang-ruang budaya dalam kota. Sehingga kebutuhan produktif yang harus dibangun adalah adanya sebuah ruang bersama yang membuka ruang partisipasi dan dialektika antara perupa-perupa yang di Malang, beserta public masyarakatnya. Dari sinilah pemaknaan seni rupa sebagai bagian dari kebudayaan telah menjadi masyarakat. Beberapa semangat jalanan bagi para perupa di Malang, belum memiliki forum bersama lintas galeri dan lintas non galeri untuk menjadikan seni rupa sebagai media partisipasi membangun masyarakat.
Kebutuhan mendasar lainnnya dalam fenomena seni rupa di Malang adalah kurangnya Penulis dan Kurator serta pembacaan peristiwa kesenian di kota Malang. Karena mau tidak mau, diluar konsep kurator sebagai marketing dalam konsepsi seni rupa galeri, kebutuhan kurator dan penulis juga dibutuhkan untuk pemicu wacana, serta mendorong semangat kearah perspektif seni rupa yang lebih global lagi. Semangat kurator sebagai pengamat merupakan sisi refleksi dunia wacana seni yang akan berdialektika dengan semangat perupa sebagai pelaku dalam aktualitas seni. Beberapa semangat kuratorial di Malang seprti di Rumah Sakit Seni, malah telah melakukan kurasi bersama diantara para perupa, pengunjung, masyarakat, akademisi, serta beberapa pelaku seni dari berbagai bidang. Semangat inilah yang kemudian dapat memberikan wawasan dan perspektif baru mengani seni rupa, tanpa dipandu secara monolog dalam konsepsi kurator galeri.
Yang tidak kalah pentingnya adalah permasalahan minimnya dokumentasi dan media penerbitan yang menyokong komunikasi, publikasi dan jaringan juga menimbulkan anggapan bahwa tidak pernah adanya peristiwa kesenian di kota ini yang terdengar dan sampai di kotakota lain di Indonesia. Jarang sekali peristiwa kesenian (seni rupa) di Malang yang terekspose bahkan menjadi perbincangan di kota lain. Hal ini menjadi sebuah hal yang sangat penting dan bagaimana kita membaca sebuah peta perkembangan kesenian pada sebuah kota.
Berbagai benang kusut fenomena seni rupa diatas, salah satu ruang buda yang ada Malang yakni Rumah Sakit Seni merupakan salah satu ruang independent yang berusaha membangun bargaining wacana dan praktek seni rupa di Malang, melakukan beberapa pembukaan ruang public sebagai strategi kebudayaan dalam kesadaran masyarakat. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan selain pameran, mural dengan melibatkan partisipasi dan berintegrasi dengan ruang public, serta beberapa forum kajian semiotic untuk mengenali dan merefleksikan karya dan produk-produk kebudayaan yang berlaku di masyarakat.

·         K.Yulistio.W  Perupa dan manager operasional Rumah Sakit Seni Art Space. Malang
·         AKbar Yumni, Partisipan Rumah Sakit Seni Malang.

Karya Digital #1

Self Potrait Series
[Dream Lead Another Dream]

Self Potrait Series
[About Reality]

Self Potrait Series
[Space]

Self Potrait Series
[Dream]

Self Potrait Series
[Luka Hijau]


Self Potrait Series
[Ideologi Rebel on Tantra]


Instalasi




Jangan terlalu keras bersuara
2004



Jangan terlalu keras bersuara
2004



Idiologi Rebel on Tantra
Neon Box - 2011

Idiologi Rebel on Tantra
Neon Box - 2011


Idiologi Rebel on Tantra
Neon Box - 2011


Idiologi Rebel on Tantra
Neon Box - 2011
[Detail]

Love Sick Rebel
[Instalasi, 2006]

Love Sick Rebel
[Instalasi, 2006]

Episode Maya dalam Zaman Batu
Rancangan Instalasi untuk Festifal Seni Surabaya
2012

Senin, 07 Januari 2013

THE SPIRIT OF LENG JI LENG BEH….


 Tulisan untuk pameran lentera 2010
Semacam pengantar kawan2 berpameran…..

Hmm…. Selamat berpameran ya buat kawan2 seni rupa LENTERA, karena pameran adalah perayaan besar buah dari proses berkesenian yang kawan2 lakukan, Perjalanan 9 tahun kelompok seni rupa LENTERA  bukanlah satu hal yang singkat akan tetapi sebuah proses yang cukup panjang dan tentunya setiap step by step proses yang di lakukan akan banyak melahirkan hal2 baru, baik berupa karya, wacana maupun dialektika2 baru dan semoga stiap proses yang di lakukan adalah tetap dalam semangat belajar dan belajar karena hal itulah yang akan merubah proses kita jauh lebih baik, ada satu pepatah,” jika kita sudah merasa matang maka kita akan cepat busuk dan jika kita selalu merasa hijau kita akan mudah matang”

Satu hal yang saya kenal dari LENTERA adalah kebersamaan yang menyatukan keberagaman dengan semangat  LENG JI LENG BEH  yang selalu tertanam di hati dan
 ( semoga )masih  tetap tertanam, karena dengan inilah kita bisa maju bersama, semangat ini pula yang mendasari pameran kali ini yang mungkin bisa di sebut pameran reuni ya… hmmm dari berbagai angkatan dari beragam jaman dan beragam proses serta pengalaman dan semoga menjadi hidangan yang bisa menyejukan, bisa membuat gelisah dan bisa menjadi pelajaran bersama dan menjadi perbincangan bersama yang mengasikan…ok lah kalo begeto, selamat berpameran tetap berproses…LENG JI LENG BEH..BERSAMA KITA BISAA!!!!! Memberi cahaya pada setiap ruang…
Salam Budaya !!!


 (pernah) di juluki Tiok Nates*
*Seorang bapak rumah tangga

Puisi Tiok


EPISODE 1

Ketika saraswati menari
Terhanyut dalam tarian sedih
Melihat anak-anaknya terdampar
Dalam gemilang modernitas yang gagap
Terlukis dalam kaca kaca penuh pesona
Tanpa tahu harus berbuat apa?
Tentang keindahan? (hidup)
Dalam gelombang mimpi-mimpi
Pada anak-anak generasi instant

Jakarta.dibawah kaca-kaca plaza indonesia
Januari 2005




Di dalam kaca-kaca
Aah… banyak sekali pertunjukan di dalamnya
Opera besar tentang pementasan hitam
Yang gelap gagap di tengah lampu-lampu bertebar
Tersesat tanpa jalan
Terjual dalam mimpi-mimpi
Mereka
Dia
Kamu
Dan aku

Jakarta 9 januari





Diantara bunga-bunga
Menabur aroma dan warna
Yang terselip pada bara
Menemukan dirinya
Kosong dan berdebu

Jakarta 10 januari










Ketika aku diatas awanmu
Terbawa angin dan terbang
Hanya terlintas
Ingin melihat dirimu
Dari atas, dari awan-awan
Telah berubahkah dirimu?
Atau
Masihkah tetap dirimu yang dulu

Ketika melintas di langit surabaya,januari 2005






Melihat citramu dari angkasa
Petak sawah dan perkampungan
Sungai-sungai dan percabangan
Bangau-bangau yang turun menjemput diatas tanahmu
Lautan dan bibir pantai
Melihat citramu dari angkasa
Tentang dewi swasembada
Tentang indahnya negeri
Tentang indahnya cerita
Tentang alam yang kaya
Tanpa kita sadar
Tentang cerita
Pada masa yang telah berubah

Dalam kabin pesawat,januari 2005





Fajar merekah di atas jatiasih
Ketika sanghyang kala
Meniupkan hari
Menjalankan waktunya
Ada yang berubah
Dan tak seperti kemaren
Bersama orang-orang yang bergegas

Kebon bengkel studio,bekasi.2005







Pada waktu yang terdalam bersama cita
Bergulung pada ombak berbentur dengan batu
Pada karang-karang
Memecah dan berdesir
Putaran puting beliung
Membawaku pada segenggam waktu
Yang telah berlalu
Dan terdalam bersama cita

Kebon bengkel studio.bekasi 2005





Semalam saat waktuku terjaga
Aku melihatmu
Berlari dan menjauh
Sesaat aku berteriak
Pada kala
Agar ia menghentikan waktu
Agar kau terhenti
Agar aku dapat meraihmu
Untuk satu saat
Di dalam hitunganya

Kebon bengkel studio.bekasi 2005    





Cintaku bermain api
Api bermain cinta
Api dan cinta membakar diriku
Cinta dan api ikut terbakar
Bersamaku bermain cinta
Bercinta pada api
Dan membakar diriku

Cozy studio work.bumi asri 2005












Setapak demi setapak aku terseret
Pada hulu maut
Dalam rajah-rajah pada dinding berbatu
Yang telah tertulis
Tentang takdir
Tentang maut
Tentang nasib
Dan peruntungan
Untuk apakah kita menangis?
Dan untuk apa
Kita tertawa?

Desember 2004

                         



Pada pagimu aku begerak
Mengoyak kabut-kabut putih
Menerobos kumpulan udara-udara dinginmu
Dalam sepi ketika tubuhku terbawa
Menuruti arus hati
Bergejolak mencari

Pada api aku berlindung
Setiap gerak pada setiap nyala
Berkata pada bait – bait syair yang kau dengungkan
Aku melihatmu sebagai ada
Dalam sebuah nilai yang tak tersentuh olehku
Tak pernah aku dapat meraihnya

Pada malamu ketakutanku
Untuk setiap tangis, untuk setiap doa
Berharap untuk kehidupan
Terselimuti gelisah
Tentang Esok
Tentang Lusa
Dan sisa kemarin
Yang masih melekat

Malam beranjak pagi. Malang oktober 2005



Ingin ku mendengar ceritamu
Diluar, tentang hiruk pikuknya dunia
Hai kehidupan..

Malang okt 2005

Cerita tentang pagi


Menari diatas fajarmu
Menabur mimpi di awal hari
Berharap berbenih,tumbuh dan berbuah
Merekah diatas jalan jalan berbatu
Berjalan dan bermimpi lagi
Berharap diatas harapan
Langkahi hari untuk mengerti

Plank plunk kafe. Sept 2005




Apiku menyala di dada kiri
Bintang bersinar dan berpendar
Kurasakan bara dalam hati
Tertawa, sakit, dan menangis
Laksana terbang dalam hidupku
Tanah-tanah retak bergolak
Menenggelamkanku
Bersama waktu
Dan terbakarnya dada kiri

Plank plunk kafe.sept 2005




Malam, ketika aku berfikir tentang waktu
Tentang kejujuran yang beranjak pergi
Menyisir anak-anak sungai
Aku melihat anthurium itu memerah
Ketika kau memberikanya untukku
Angin berdesir memecah bola-bola mimpi
Dan menyudutkan diriku ke tepi
Ketika ku rangkai dengan bait kata,cinta dan waktu
Aku yang terdiam saat kau datang
Terpojok menepi, menepati janji
Pada malam berfikir tentang waktu

Sms untukmu, pada catatan tanggal di bukumu,des 04




Aku ingin melihatmu jujur
Pada senyum di bibir
kawan

Malang 2005

Matahati yang tak pernah bisa melihat kembali
Bersama mengalirnya darahmu di nadiku

Surabaya.2005



Berbicara pada tanah
Dimana kau di lahirkan
Berkawan dengan darah
Dimana kau di persatukan

Aku memberimu waktu
Ketika kau harus berjalan
Aku memberimu api
Ketika kau butuh penerang
Dan aku memberimu nurani
Ketika kau harus merasakan

Dan kaupun tahu
Kemana kau harus melangkah
Berfikirlah !
Merenunglah!
Dan kau pun tahu
apa yang harus kamu lakukan
kawan.

Malang 2005





Aku masih menunggumu
Dalam lingkaran waktu
Kawan.
Karena mimpimu
Adalah juga mimpi diriku
Aku juga percaya
Bahwa lingkaran itu
Akan berakhir
Pada satu titik Pertemuan
Karena aku masih menunggumu
Dalam lingkaran
Kawan

Bumi asri, kamarku 2005






Yah…. Kadangkala dari kita
Harus terbiasa
Menghadapi hal-hal yang biasa
Karena semua
Akan menjadi biasa saja

Bumi asri,kamarku 2005 





Cahayaku tidak pernah ragu
Tuk lari dari matahari
Seperti angan dan mimpiku
Untuk menjelajah duniamu

Aku akan melindungi mimpi
Dimana waktu tak bisa menyentuhnya
Tak juga kubiarkan ia (waktu)
Mengambilnya (dariku)

Aku takkan meraih mimpi itu
Hanya membawanya pergi saja
Dan membuatnya
Bersatu dengan diriku

Jogjakarta.2005

 

                



Senandung pada hari tanpa merindu
Dalam ruang ketika kau terbaca
Pada bait – bait mantra
Tentang mimpi – mimpi yang terbelah
Aku menyentuhmu pada kata
Menusuk dirimu dengan hati dalam rasa
Membangun ruang pada bunga – bunga
Pada putih….
Pada hitam
Juga pada abu – abu mu…
Senandung pada hari tanpa merindu
Terdiam tak terasa membisu
Satu jam telah berlalu…

Malang  2005