Tulisan untuk PAMERAN SENI RUPA “MOTION” Kelompok LENTERA and Friends 2011
Dasar
pemikiran :
Manusia
dan pergerakan kebudayaan
Semenjak
awal dunia telah melakukan penelusuran hakikat asal usul dari manusia. Seperti
mengungkap kotak hitam misteri yang tak pernah ditemukan kunci pembukanya,
pemecahan seluk beluk sejarah manusia telah menyita waktu dan pemikiran yang
menimbulkan penafsiran bermacam-macam. Masing-masing pemikir atau asumsi umum
silih berganti mengajak masyarakat menjadi penganut perspektif tersebut.
Diantaranya adalah tiga asumsi besar yang hadir pada masyarakat sebelum jaman
pencerahan. Pertama, ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya makhluk manusia
memang diciptakan beraneka macam atau poligenesis; dan menganggap bahwa
orang-orang di Eropa yang berkulit putih merupakan makhluk manusia yang paling
baik dan kuat. Oleh karena itu, kebudayaan yang dimilikinya juga paling
sempurna dan paling tinggi. Cara berpikir yang kedua adalah yang meyakini bahwa
sebenarnya makhluk manusia itu hanya pernah diciptakan sekali saja atau
monogenesis; yaitu dari satu makhluk induk dan bahwa semua makhluk manusia di
dunia ini merupakan keturunan Adam. Sebagian dari mereka yang punya pandangan
ini berpendapat bahwa keanekaragaman makhluk manusia dan kebudayaannya, dari
tinggi sampai rendah; sebagai akibat proses kemunduran yang disebabkan oleh
dosa abadi yang pernah dilakukan oleh Nabi Adam. Sebaliknya, sebagian lain
berpendapat bahwa sebenarnya makhluk manusia dan kebudayaan tidak mengalami
proses degenerasi. Akan tetapi apabila pada masa kini terdapat perbedaan, lebih
disebabkan oleh tingkat kemajuan mereka yang berbeda.
Kebangkitan
kembali terhadap studi kesusastraan dan ilmu pengetahuan Yunani dan Rumawi
Klasik yang terjadi pada abad XVI di Eropa atau yang dikenal dengan
Renaissance; menimbulkan rasionalisme yang pada akhirnya menyebabkan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi di Eropa. Pada masa itu, yaitu sampai abad
XVIII, Eropa mengalami zaman Aufklarung atau ‘Pencerahan Pencerahan’.Berbagai
bidang kajian banyak dilakukan, termasuk upaya untuk meneliti tentang
keanekaragaman makhluk manusia dan kebudayaannya di berbagai tempat di muka
bumi. Beranekamacam kajian anatomi komparatif yang dilakukan, lebih ditekankan
atas dasar keanekaragaman ciri-ciri fisik manusia. Selain itu, ada sebagai para
ahli filsafat sosial di masa Aufklarung, mulai mengkaji berbagai bentuk-bentuk
masyarakat dan tingkah laku makhluk manusia. Berbagai gejala dan tingkah laku
manusia, dicoba untuk dipahami dengan mendasarkan pada kaidah-kaidah alam.
Untuk itu metodologi ilmu eksaksta, khususnya biologi, kerapkali dicoba untuk
diterapkan untuk mengkaji perilaku manusia. Kesemuanya itu tidak terlepas dari
kekaguman mereka terhadap kemajuan ilmu alam dan ilmu pasti yang terjadi pada
zaman itu. Beraneka ragam gejala perilaku makhluk manusia dalam kehidupan
bermasyarakat, dianalisis secara induktif dengan mencari unsur-unsur persamaan
yang ada; kemudian diupayakan dirumuskannya sebagai kaidah-kaidah sosial. Cara
berpikir rasional yang akhirnya berkembang menjadi aliran positivisme sangat
mewarnai para cendekiawan pada zaman Aufklarung. Mereka percaya bahwa berbagai
kaidah tersebut akan dapat dipergunakan untuk mengatur dan merubah suatu
masyarakat. Agaknya, pola pikir para cendekiawan masa Aufklarung yang memandang
masyarakat dan kebudayaan sebagai suatu kesatuan, Atas dasar itu, melatar
belakangi sebuah konsep pemikirannya bahwa pada dasarnya kebudayaan umat
manusia adalah berkembang melalui suatu tingkat-tingkat evolusi tertentu.
Kebudayaan
sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw
Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah
untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung
keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta
keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi
segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat.Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat
seseorang sebagai anggota masyarakat.Dari berbagai definisi tersebut, dapat
diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi
tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat
abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan
oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda
yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,
organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Sejak pertama kalinya, makhluk yang bercirikan
manusia muncul di muka bumi sekitar satu juta tahun yang lalu, yaitu dengan
ditemukannya fosil dari makhluk Pithecanthropus Erectus, sampai dengan sekarang
ini, telah terjadi berbagai perubahan kebudayaan yang dimilikinya; sementara
itu proses evolusi organik makhluk manusia tidak secepat perkembangan
kebudayaannya. Oleh karenanya kebudayaan menunjukkan satu sifat khasnya yakni
superorganik. Apabila proses evolusi kebudayaan dibandingkan dengan proses
evolusi fisik dari makhluk manusia, sampai pada suatu kurun waktu tertentu
masih berjalan sejajar. Akan tetapi pada suatu tahap perkembangan tertentu,
diduga proses perubahan kebudayaan berjalan amat cepat sekali seolah olah
meninggalkan proses evolusi organiknya. Selain disebabkan oleh mekanisme lain
seperti munculnya penemuan baru atau invention, difusi dan akulturasi;
perubahan suatu lingkungan akan dapat pula mengakibatkan terjadinya perubahan
kebudayaan.
Selama
perjalanan waktu yang lama, dengan akal yang dimilikinya, makhluk manusia
semakin memiliki kemampuan menyempurnakan kebudayaan yang dimilikinya. Setiap
kali mereka berupaya menyempurnakan dirinya, maka akan menyebabkan perubahan
kebudayaannya. Suatu perubahan kebudayaan dapat berasal dari luar lingkungan
pendukung kebudayaan tersebut. Gerak kebudayaan yang telah menimbulkan
perubahan dan perkembangan, akhirnya juga menyebabkan terjadinya pertumbuhan;
sementara itu tidak tertutup kemungkinan hilangnya unsur-unsur kebudayaan lama
sebagai akibat ditemukannya unsur-unsur kebudayaan baru. Dalam rangka studi
akulturasi, para ahli antropologi telah lama mencoba untuk memahami terjadinya
perbedaan derajat perubahan perkembangan suatu kebudayaan. Sementara itu dalam
sejarah perkembangan kebudayaan umat manusia, Childe (1998) berpendapat bahwa
ada tiga jenis revolusi terpenting dalam sejarah perkembangan kebudayaan
makhluk manusia. Perubahan kebudayaan yang demikian pesat atau lebih dikenal
dengan Revolusi Kebudayaan Pertama, terjadi tatkala makhluk manusia yang
termasuk Homo Sapiens pada sekitar 80.000 tahun yang lalu, mereka masih hidup
dari berburu dan meramu. Kepandaian bercocok tanam baru muncul sekitar sepuluh
ribu tahun yang lalu di sekitar daerah pertemuan Sungau Tigris dan Eufrat atau
di Lembah Mesopotamia . Setelah ia mengenal
sistem pemukiman kota ,
artinya ia mulai juga bertempat tinggal di kota-kota pada enam ribu tahun yang
lalu di Pulau Kreta Yunani, terjadilah suatu Revolusi Kebudayaan kedua; dan
setelah itu perkembangan kebudayaan manusia semakin pesat. Akhirnya pada abad
XVII di Inggris, terjadi Revolusi Industri, dan oleh Gordon Childe dianggap
sebagai Revolusi Kebudayaan ketiga. Setelah Revolusi Industri, makhluk manusia
mengenal teknik memproduksi barang secara massal karena tenaga manusia mulai
digantikan dengan mesin-mesin yang ditemukan. Sejak itulah, kebudayaan umat
manusia semakin tumbuh dengan pesat seolah-olah melepaskan dirinya dari proses
evolusi organik atau evolusi biologis makhluk manusia.
Hari ini Manusia
dan kebudayaanya dalam perspektif dunia kontemporer sudah demikian pesat
pergerakan dan dinamikanya dalam kehidupan social yang terjadi, kita seperti
masuk dalam arus putaran air yang saling bergesek, bergerak , berirama dalam arus
arus modernitas dan globalisasi, asumsi ini mendasari sebuah pemikiran bahwa
setiap individu sebagai sebuah bulir – bulir penggerak kebudayaan sebuah
masyarakat tentunya kita memiliki rekaman – rekaman histories , optik maupun
gagasan bagaimana dan seperti apa kebudayaan
itu bergerak seiring pergerakan manusia dan jaman yang berubah, dari
perspektif dan tafsir individu ini pulalah kita bisa merekam gejala – gejala
perubahan dan melahirkan pemikiran ,interaksi serta diskursus baru dalam
keanekaragaman wacana dan kebudayaan manusia…” selamat berfikir dan bekerja
!!!!
0 komentar:
Posting Komentar