(Sebuah catatan singkat pembacaan seni rupa di Malang )
Oleh: K. Yulistio. W
& Akbar Yumni*
Sebagai sebuah catatan, jika kita
sidikit menilik dari sejarah , Malang
sebenarnya juga memiliki sejarah seni rupa yang cukup panjang, jejak sejarah
lahirnya seni rupa modern di malang
juga dapat kita lihat pada kemunculan sanggar – sanggar di tahun 50 an yang mengusung gaya – gaya
seni rupa dengan corak pemandangan alam yang kita kenal dengan sebutan mooi
indie. Pada kisaran tahun tersebut mulai bermunculan sanggar- sanggar seni rupa
di kota ini.
Berdirinya jurusan seni rupa di IKIP Malang yang sekarang berganti nama menjadi
Universitas Negeri Malang di tahun 1968 juga memberikan warna dan perkembangan
yang cukup signifikan terhadap perkembangan seni rupa di Malang.
Dalam perkembangannya di tahun 2000an
di Malang berkembang pula kelompok – kelompok seni rupa di kalangan akademisi, disini
dapat kita pilah menjadi 2 kategorisasi akademisi seni rupa dan non akademisi
seni rupa ,yang juga banyak terdapat kelompok – kelompok seni rupa di dalam dan
di luar kegiatan di kampus. Di kalangan latar belakang akademisi seni rupa
muncul kelompok Kentjing Andjing, Portal dan di kalangan non akademisi muncul
kelompok Komunitas seni Asma, Kelompok studi seni rupa Lentera, sanggar Blitz,
dan masih banyak yang lainya. Dari kelompok – kelompok ini pun lahir berbagai
pemikiran – pemikiran baru di duniua seni rupa di malang kita contohkan saja
seperti sebuah acara yang di gelar teman- teman dari Lentera yang berinisiatif
membangun lokal jaringan dan pemikiran dengan mengumpulkan elemen seni rupa di
Malang dalam sebuah dialog dan forum adalah sebuah langkah yang cukup bagus
untuk mencoba menerobos kebuntuan- kebuntuan yang terjadi dalam wacana dan
gerak seni rupa di Malang. Mereka juga beberapa kali mengadakan dialog dan
forum dari luar kota
Malang dan
membentuk sebuah jaringan komunikasi diantara perupa- perupa yang terlibat di
dalamnya
Muncul pula beberapa Galeri yang di
kelola secara profesional yang cukup bisa memberikan angin segar dalam hal isu
dan wacana bagi perkembangan kota Malang dalam seni rupa, semisal, berdirinya
Puri art gallery yang banyak menyelenggarakan event – event dan bekerja sama
dengan galeri di luar Malang yang justru saya liat sebagai sebuah upaya
dialektis untuk memasukkan wacana dan isu –isu seni rupa di luar kota Malang
dan mencoba membuat gesekan – gesekan wacana di kota ini, muncul pula Semar art
gallery yang banyak mengusung karya – karya seni lukis Tionghoa, Pondok Seni Batu, Hamursava sebagai sebuah
ruang pamer, dan ruang pamer perpustakaan kota Malang yang beberapa kali
menggelar acara seni rupa baik bertajuk pameran maupun diskusi.
Sedangkan di kalangan mudanya juga
muncul beberapa forum dan ruang – ruang alternatif yang selalu aktif dalam
gesekan wacana dan proses berkesenian seperti BKJT ( Belok Kiri Jalan Terus),
Insomnium dan Rumah Sakit Seni. Seperti halnya Insomnium dan Rumah Sakit Seni
selain sebagai sebuah komunitas yang bergerak dalam kajian – kajian dan riset
visual art juga banyak melakukan
kegiatannya yang berorientasi dengan lingkungan masyarakat sekitar serta
memiliki ruang pamer yang kondusif dan mengkhususkan dirinya pada perkembangan
seni rupa alternatif di Malang.
Dari sekian fenomena seni rupa yang
telah teridentifikasi baik secara komunikasi dan jaringan, tanpa menutup Malang juga masih banyak
pelaku seni rupa di wilayah pedesaan yang mengorientasikan seni bagi dirinya
secara militan sebagai tradisi dan keyakinan yang belum mampu di komunikasikan
dan di dokumentasikan. Untuk yang satu ini juga merupakan entitas penting untuk
dikenali sebagai refrensi dan mengenali representasi kebudayaan, khususnya di
seni rupa yang ada di Malang .
Mengenali fenomena dan kondisi seni
rupa di Malang
bisa diidentifikasi melalui semangat yang eksis dari para pelaku seni rupa di Malang itu sendiri. Hal
ini sangat terkait dengan adanya beberapa pelaku seni rupa yang sengaja
mengorientasikan dirinya secara berbeda-beda, baik itu yang bergantung pada
konsep galeri maupun pada pelaku seni rupa yang memiliki idealisme murni pada
karya dan publik. Perbedaan semangat ini pada dasarnya bukanlah dua kutub yang
oposisi biner, karena permasalahan orientasi karya bisa menjadi hak otonom
individu perupa dalam memaknai karyanya sendiri. Kecendrungan factor psikologis
pada pelaku perupa, serta kurangnya jalur komunikasi, serta ruang bersamalah
yang kemudiaan menyebabkan dikotomi antara perupa yang menggantungkan hidupnya
di galeri dengan non galeri, walaupun perdebatan mengenai idealisme diantara
masing-masing mereka, khususnya mengenai estetika justru menarik untuk
membangun ruang dialektika bersama.
Keberadaan Dewan Kesenian Malang
(DKM), sebagai sebuah bentuk infrastur kesenian yang di fasilitasi oleh Negara,
adalah ruang public yang seharusnya mampu mengakumulasi dan menyokong kehidupan
seni rupa yang ada di Malang. Semangat DKM yang memang banyak di sokong oleh
pemerintahan daerah, menyebabkan perilaku yang pararel yakni praktek dan
managerial yang dilakukan DKM terkesan birokratis dan formal. Kesenian yang
bergantung pada Negara tentu bisa menjadi hal yang naïf, begitu pula halnya
seni yang bergantung pada pasar juga bisa kontraproduktif. Beberapa ruang-ruang
kebudayaan independent di Malang telah mampu menghidupi dirinya sendiri,
walaupun masih harus mengakali sarana dan prasarana yang ada, namun masih lemah
dalam berkomunikasi dan berjaringan diantara ruang-ruang budaya dalam kota . Sehingga kebutuhan
produktif yang harus dibangun adalah adanya sebuah ruang bersama yang membuka
ruang partisipasi dan dialektika antara perupa-perupa yang di Malang , beserta public masyarakatnya. Dari
sinilah pemaknaan seni rupa sebagai bagian dari kebudayaan telah menjadi
masyarakat. Beberapa semangat jalanan bagi para perupa di Malang , belum memiliki forum bersama lintas
galeri dan lintas non galeri untuk menjadikan seni rupa sebagai media
partisipasi membangun masyarakat.
Kebutuhan mendasar lainnnya dalam
fenomena seni rupa di Malang
adalah kurangnya Penulis dan Kurator serta pembacaan peristiwa kesenian di kota Malang . Karena mau tidak mau, diluar konsep
kurator sebagai marketing dalam konsepsi seni rupa galeri, kebutuhan kurator
dan penulis juga dibutuhkan untuk pemicu wacana, serta mendorong semangat
kearah perspektif seni rupa yang lebih global lagi. Semangat kurator sebagai
pengamat merupakan sisi refleksi dunia wacana seni yang akan berdialektika
dengan semangat perupa sebagai pelaku dalam aktualitas seni. Beberapa semangat
kuratorial di Malang
seprti di Rumah Sakit Seni, malah telah melakukan kurasi bersama diantara para
perupa, pengunjung, masyarakat, akademisi, serta beberapa pelaku seni dari
berbagai bidang. Semangat inilah yang kemudian dapat memberikan wawasan dan
perspektif baru mengani seni rupa, tanpa dipandu secara monolog dalam konsepsi
kurator galeri.
Yang tidak kalah pentingnya adalah
permasalahan minimnya dokumentasi dan media penerbitan yang menyokong
komunikasi, publikasi dan jaringan juga menimbulkan anggapan bahwa tidak pernah
adanya peristiwa kesenian di kota
ini yang terdengar dan sampai di kota
– kota lain di
Indonesia. Jarang sekali peristiwa kesenian (seni rupa) di Malang yang terekspose bahkan menjadi
perbincangan di kota
lain. Hal ini menjadi sebuah hal yang sangat penting dan bagaimana kita membaca
sebuah peta perkembangan kesenian pada sebuah kota .
Berbagai benang kusut fenomena seni
rupa diatas, salah satu ruang buda yang ada Malang yakni Rumah Sakit Seni
merupakan salah satu ruang independent yang berusaha membangun bargaining
wacana dan praktek seni rupa di Malang, melakukan beberapa pembukaan ruang
public sebagai strategi kebudayaan dalam kesadaran masyarakat. Beberapa
kegiatan yang telah dilakukan selain pameran, mural dengan melibatkan
partisipasi dan berintegrasi dengan ruang public, serta beberapa forum kajian
semiotic untuk mengenali dan merefleksikan karya dan produk-produk kebudayaan
yang berlaku di masyarakat.
·
K.Yulistio.W Perupa
dan manager operasional Rumah Sakit Seni Art Space. Malang
·
AKbar Yumni, Partisipan Rumah Sakit Seni Malang .
0 komentar:
Posting Komentar