JIKA PERBEDAAN ADALAH JODOH
LANTAS
DIMANAKAH LETAK CINTA
…………………………………………….
………………
KARMA DAN JODOH ITU
SAMA
SAJA
SEBAB
CINTA HANYALAH WAKTU
Kebanyakan
dari kita hidup dalam serentetan laku,yang sepintas lalu tampaknya tidak ada hubungannya satu sama lain, laku-laku yang terpisah dan berdiri
sendiri-sendiri, yang membawa kepada disintegrasi, kepada frustasi. Itulah
suatu masalah yang menyangkut tiap orang di antara kita, karena kita hidup dari
laku dan tanpa laku tidak ada hidup,tidak pengalaman, tidak ada pemikiran.
Pikiran adalah laku; dan semata-mata mengejar laku pada tataran tertentu dalam
kesadaran, yakni yang lahiriah, hanya terjebak dalam laku yang tertuju ke luar
tanpa memahami seluruh proses laku itu sendir, tak boleh tidak akan membawa
kita kepada frustasi, kepada penderitaan.
Hidup merupakan suatu rentetan laku atau suatu
proses laku pada tataran kesadaran yang
berlainan. Yaitu, kesadaran tantangan dan respons, yang adalah mengalami,
kemudian merumuskan atau memberi nama, dan sesudah itu mencatat, yakni mengenang. Proses inilah
yang dinamakan laku bukan?. Tanpa itu semua tidak akan ada laku.
Lalu laku menciptakan si pelaku. Artinya, pelaku lahir karena laku
mempunyai hasil, suatu tujuan yang jadi sasaran. Jika tidak hasil dalam laku,
maka pelaku itu tidak lah ada; tapi kalau ada suatu tujuan atau hasil yang
dijadikan sasaran, maka laku melahirkan pelaku. Jadi pelaku, laku, dan tujuan
atau hasil, merupakan satu proses yang menyatu, suatu proses tunggal, yang
lahir jika laku itu mempunyai tujuan yang menjadi sasaran. Laku yang menuju ke
suatu hasil adalah kemauan. Hasrat untuk mencapai tujuan
mendatangkan kemauan, yaitu si pelaku – aku ingin mencapai, aku ingin menulis
sebuah buku, aku ingin menjadi kaya, aku ingin melukis lukisan. Kita kenal baik
dengan ketiga keadaan ini (walau sering tak menyadarinya): si pelaku,
laku dan tujuan. Itulah kehidupan kita sehari-hari.
Kalau kita memahami laku dalam arti
kata-nya yang fudamentil, maka pengertian yang fudamentil itu akan mempengaruhi
pula kegiatan lahiriah kita; tapi pertama-tama kita harus memahami sifat
hakekatnya laku. Adakah laku itu dilahirkan oleh ide? Apakah kita lebih dulu
mempunyai ide dan ber-laku kemudian? Ataukah laku lebih dulu ada dan
kemudian, karena laku menciptakan konflik, kita membangun ide di seputarnya?
Adakah laku menciptakan si pelaku ataukah si pelaku lebih dulu ada?
Adalah sangat penting untuk
menentukan yang mana lebih dulu ada,. Kalau ide yang lebih dulu ada, maka laku
semata-mata hanya menyesuaikan bentuknya terhadap ide itu, dan karenanya itu
bukan lagi laku melainkan imitasi, paksaan menurut suatu ide. Penting sekali
untuk menyadari hal ini; karena, oleh sebab masyarakat kebanyakan disusun pada
tataran intelektuil atau lisan, maka ide itulah yang lebih dulu ada dan disusul oleh laku. Maka laku menjadi budaknya
ide, dan pembentukan ide semata-mata, jelas merugikan laku. Ide melahirkan ide
lainnya, dan jika yang ada hanyalah pembiakan ide maka “atagonisme”pun
lahirlah, dan kita menjadi berat di atas dengan proses pengidean secara “intelektuil”.
Struktur budaya kita sangat intelektuil; kita memupuk intelek dengan
mengorbankan setiap factor lainnya dari kehidupan kita dan karena itu pengap
oleh “ide-ide”.
Dapatkah ide benar-benar melahirkan
tindakan, ataukah ide semata-mata mengacau pikiran dan dengan demikian
membatasi laku?. Kalau laku dipaksa oleh ide, laku tidak akan pernah
membebaskan manusia. Jika ide membentuk laku, maka tindakan tidak pernah dapat melahirkan
pemecahan terhadap “penderitaan-penderitaan” kita.
* Romo
Pambudi, Budayawan
#Tulisan room pambudi untuk pameran tunggal tiok
#Tulisan room pambudi untuk pameran tunggal tiok
0 komentar:
Posting Komentar